Kesuksesan Spanyol merengkuh tiga gelar akbar secara beruntun, Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012, kental diwarnai aksi tiki-taka. Saking ampuhnya skema tersebut, La Furia Roja seolah sulit move on, meski sudah semakin panjang daftar lawan yang bisa mengatasi mereka.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
"Tiki-taka telah terbukti bisa membawa keberhasilan bagi Spanyol. Jadi, mengapa kami harus mengubah gaya bermain ini?” Begitu komentar Fernando Torres, beberapa waktu setelah Spanyol dipastikan tersisih dari panggung PD 2014.
Kala itu, penguasaan bola Spanyol seperti kurang memiliki makna karena relatif mudah digilas permainan efektif Belanda dan Chile.
Baca juga:
- Memperkenalkan Bhinneka Tunggal Ika di TAFISA Games 2016
- Timnas Italia Sisipkan 6 'Pemain Asing'
- Pemain Asing Anyar Persib Pun Coba Meraba Kekuatan Madura United
Di laga pembuka grup, Belanda menghajar Spanyol 5-1 dan di laga kedua giliran Chile yang mengalahkan mereka dua gol tanpa balas.
Kegagalan di Brasil sudah pantas dijadikan sebagai momentum untuk berevolusi. Namun, kala itu RFEF merasa belum saatnya.
Vicente del Bosque pun mendapat perpanjangan masa jabatan hingga Euro 2016. Well, dengan nakhoda lama, yang artinya tanpa perubahan gaya, Spanyol kembali harus pulang lebih awal.
Tak ada salahnya mempertahankan sebuah filosofi, apalagi jika terbukti membawa keberhasilan. Akan tetapi, harus diingat siapa saja aktor di balik kesuksesan tersebut.
Jika sudah tidak ada dan terbukti sulit dicari penggantinya, tentu agak mustahil memaksakan penerapan sistem tiki-taka ini.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.704 |
Komentar