"Sepanjang sejarah klub, saya tak pernah melihat pemain dengan nasib sesial itu." Ucapan tersebut dilontarkan eks Wakil Presiden Barcelona, Nicolau Casaus, buat mantan penjaga gawang mereka, Julen Lopetegui.
Penulis: Rizki Indra Sofa
Nicolau Casaus mangkat pada 2007. Ia mengabdi sebagai Wakil Presiden Barcelonapada periode 1978-2000. Karier institusionalnya yang terbilang amat panjang membuat ucapan tentang Lopetegui menjadi sarat makna.
Casaus mengungkapkannya pada 7 Februari 1995. Saat itu masih musim pertama Lopetegui berbaju Barca setelah pindah dari Logrones.
Musim 1994-1995 telah berjalan lebih dari separuh, tetapi Lopetegui tidak juga kunjung mendapatkan debut di La Liga atau Copa del Rey buat Barca.
Pertandingan terakhirnya untuk Blaugrana terjadi di awal musim dalam duel Piala Super Eropa menghadapi Real Zaragoza. Bencana, karena ia kebobolan lima kali!
Sejak saat itu, pelatih Johan Cruyff memilih Carles Busquets, ayah Sergio Gusquets, sebagai kiper utama Barca.
Sejak peristiwa itu, Lopetegui duduk di bangku cadangan melewatkan 20 partai liga dan enam duel di Liga Champions.
Cruyff ingin memberikan peluang merumput Lopetegui di Copa dan kesempatan itu datang di babak 16 besar melawan Atletico Madrid, 7 Februari 1995.
Lopetegui menjadi starter. Hanya, performanya cuma 13 menit. Ia melanggar Jose Luis Caminero, Barca dihadiahi penalti, dan Lopetegui diusir wasit.
Barca kalah 1-4 di Camp Nou dan akhirnya tumbang agregat 3-5 dari Atletico. Sial. Begitu mendiang Casaus mendeskripsikan karier bermain Lopetegui di Camp Nou.
Peran Cruyff
Setelahnya, Lopetegui memang tak pernah menjadi kiper utama Barca. Sah-sah saja kalau Casaus mengatakan Lopetegui sial. Tapi, kata sial terlalu berat buat mendeskripsikan kariernya sebagai pemain.
Harus diakui, dia juga bukan kiper utama di Real Madrid (1988-1991) karena hanya sekali bermain di ajang liga. Momen terbaik Lopetegui muncul bareng Logrones dan Rayo Vallecano, dua klub medioker Spanyol.
Hanya, kalau mengibaratkan Madrid dan Barca sebagai sekolah, Lopetegui punya almamater, guru, dan teman sebangku paling oke.
Bagaimana tidak? Di Madrid, dia sempat dilatih oleh legenda klub Alfredo Di Stefano.
Di Barcelona, ada Johan Cruyff sebagai pelatih, berteman dekat dengan Josep Guardiola, bahkan disebut kerap berbincang soal masa depan sebagai pelatih dengannya.
Lopetegui terlibat dalam dua era yang lekat di wajah sepak bola Negeri Matador: era Quinta del Buitre Madrid dan The Dream Team Barcelona.
Dia salah satu dari empat eks anak emas Cruyff yang berkembang menjadi arsitek tim berbakat. Tiga nama lain jelas Guardiola, Luis Enrique, dan Laurent Blanc.
Dari Cruyff pula terbentuklah niatan Lopetegui untuk meneruskan kariernya ke ajang kepelatihan. Cruyff menanamkan perspektif unik dalam diri Lopetegui tentang dunia kepelatihan.
"Cruyff sering mengatakan, ketika kita bermain, sebagai pemain, maka kita akan sangat sedikit mengerti permainan. Saya juga merasa demikian," tutur Lopetegui di El Pais.
Fondasi
Kebetulan, atau memakai kata dari Casaus, kesialan, membuat Lopetegui lebih banyak duduk di bangku cadangan. Dia mempunyai banyak waktu luang mengamati dan memerhatikan permainan, belajar dari pinggir lapangan.
Fondasi sepak bola indah yang ditanamkan Cruyff di era Dream Team Barca mau tak mau lengket juga di filosofi Lopetegui ketika ia gantung sepatu dan mengalihkan diri ke dunia kepelatihan.
Ia sulit menerapkan keinginan di Rayo Vallecano, tetapi pelan dan pasti kesempatan belajar di Real Madrid Castilla menjadi pijakan dan modal berharga.
Castilla juga "sekolah" bagus buat pelatih. Vicente del Bosque, orang yang notabene ia gantikan, juga berasal dari Castilla.
Pun dengan nama lain seperti Rafael Benitez dan bos Madrid saat ini Zinedine Zidane. Mereka sempat membesut Castilla.
Baru di level internasional namanya meroket. Ia membawa tim Spanyol U-19 dan U-21 menjadi juara Euro U-19 (2012) dan U-21 (2013).
Sebuah kombinasi klop lantaran Spanyol di level usia berapa saja sudah memiliki cetak biru gaya bermain konkret, yang tak jauh beda dengan pola Barcelona, warisan dari era Cruyff, dan jelas amat dipahami Lopetegui.
Karena itu, ketika Presiden RFEF (Federasi Sepak Bola Spanyol), Angel Maria Villar, menunjuk nama Lopetegeui sebagai arsitek Spanyol, ia paham apa yang akan diberikan.
Pria satu ini bisa dan punya modal untuk menjaga tradisi permainan La Furia Roja, mengubahnya sesuai kebutuhan buat mengembalikan Spanyol dari keterpurukan.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.704 |
Komentar