Penunjukan Jose Mourinho sebagai pelatih Manchester United memercik sejumlah prediksi tentang implikasi yang akan dia bawa ke klub tersebut, dan Premier League. Salah satunya adalah indikasi pengulangan rivalitas dengan Pep Guardiola.
Mourinho dan Guardiola punya tugas berat. Mereka melatih dua tim yang sedang goyah.
Manchester City dan Man United yang menjadi kandidat juara Premier League musim 2015-2016 justru tampil tidak meyakinkan.
Man City hanya finis di urutan keempat klasemen akhir Premier League dan Man United harus puas di urutan kelima.
Buruknya penampilan kedua klub musim lalu membawa dampak bagi pendahulu Mourinho dan Guardiola. Louis van Gaal dipecat manajemen Man United pekan lalu karena dianggap gagal memberikan prestasi maksimal.
Manuel Pellegrini, pendahulu Guardiola di Etihad Stadium malah lebih apes. Akhir kariernya di Etihad sudah diketahui publik beberapa bulan sebelum musim kompetisi berakhir.
Dengan pengalaman melatih klub-klub besar Eropa dan mempersembahkan trofi, di atas kertas Mourinho dan Guardiola adalah pelatih yang tepat untuk memenuhi ambisi kedua klub kota Manchester tersebut.
Entahlah jika penunjukan Guardiola sebagai pelatih Manchester City turut memengaruhi keputusan Mourinho menerima pinangan Man United.
Highest points per game of every boss in Premier League history:
J. Mourinho (2.18)
— Squawka Football (@Squawka) May 27, 2016
A. Ferguson (2.16)
C. Ancelotti (2.07)
R. Mancini (2.03
Namun, pilihan karier Mourinho dan Guardiola seperti prolog dari bab baru rivalitas keduanya.
Ketika membicarakan 'perseteruan' Guardiola dan Mourinho, tentu kita harus memulai dari masa ketika keduanya masih melatih di Liga Spanyol. Seperti sudah digariskan, mereka berada di kutub berlawanan.
Guardiola melatih FC Barcelona, dan Mourinho membesut Real Madrid. Publik dan media Spanyol menempatkan mereka di kutub berlawanan: Guardiola adalah tokoh baik, dan Mourinho adalah tokoh jahatnya.
Kedengarannya mungkin tidak adil menempelkan label 'baik' dan 'jahat' kepada dua orang yang berseteru seperti Guardiola dan Mourinho.
Namun, sikap dan kata-kata kedua pria ini tentang satu sama lain seperti mengonfirmasi penempelan citra tersebut.
Mourinho yang lebih ceplas-ceplos dan terbuka tidak pernah segan menyindir Guardiola dalam konferensi pers.
Baca Juga:
- Noda Hitam di Milan Hantui Real Madrid Jelang Final
- 6 Dosa Fatal Jose Mourinho di Chelsea
- Nikmati Final Liga Champions via Streaming Karya Anak Bangsa
Pada April 2011, Real Madrid dan Barcelona bertemu dalam final Copa del Rey. Ketika itu, Pedro mencetak gol untuk Blaugrana yang kemudian dianulir oleh wasit. Real Madrid menjuarai Copa del Rey lewat gol Cristiano Ronaldo.
Guardiola memprotes keputusan tersebut. Mourinho menyindir komplain Guardiola dalam konferensi pers semifinal Liga Champions beberapa hari kemudian. Ketika itu, kedua klub kembali bertemu.
"Sekarang, ada kelompok pelatih yang mengritik keputusan wasit, meski keputusannya sudah benar. Pep satu-satunya anggota kelompok itu," kata Mourinho.
Jika Mourinho berharap Guardiola mendengar sindirannya itu, dia tidak salah. Guardiola menonton siaran konferensi pers tersebut. Sebelum konferensi pers itu Guardiola lebih banyak diam dan tidak mau berkonfrontasi langsung dengan Mourinho.
"Saya tahu Mourinho berusaha memprovokasi saya, tetapi saya tidak akan menanggapinya. Saya hanya akan menjawab jika waktunya sudah tepat," konon begitu kata-kata Guardiola.
Namun, kali ini dia sudah tidak tahan. Beberapa jam kemudian, Guardiola angkat bicara.
"Dia adalah penguasa di ruang pers Bernabeu. Saya tidak akan melawannya. Kalau Jose lebih menikmati perhatian wartawan ketimbang menghargai relasi kami selama empat tahun, terserah. Saya belajar soal sepak bola dari dia, tetapi saya tidak akan belajar hal lain dari dia di luar lapangan," kata Guardiola.
Bermuara di Barcelona
Melihat sengitnya persaingan kedua tim, wajar kalau banyak yang mungkin lupa Guardiola dan Mourinho pernah akrab semasa keduanya masih berada di Barcelona.
Ketika Bobby Robson melatih di Camp Nou dari 1996 sampai 1997, Guardiola adalah salah satu pilar Blaugarana. Adapun Mourinho menjabat sebagai penerjemah untuk Robson. Mourinho dan Guardiola cukup dekat.
Dalam buku biografi Guardiola, Another Way of Winning, pakar La Liga, Guillem Balague menulis bagaimana keduanya merayakan kemenangan Barcelona pada Piala Winners 1997.
"Mourinho mengangkat Pep dan memeluknya, menggendong Pep tiga kali sebelum mereka melompat bak dua bocah di pagi hari ketika Natal tiba," tulis Balague.
Lalu, mengapa keakraban itu seolah sirna? Mengapa Mourinho seperti punya vendeta personal kepada Guardiola?
Jawabannya, lagi-lagi ada di Barcelona.
Seperti yang ditulis Jonathan Wilson di Guardian pada 2015, Mourinho melamar sebagai pelatih menggantikan Frank Rijkaard. Barcelona menolak lamarannya dan menunjuk Guardiola yang ketika itu masih melatih tim junior Barcelona.
2016/17 Premier League managers:
José Mourinho
— Squawka Football (@Squawka) May 27, 2016
Pep Guardiola
Jürgen Klopp
Arsène Wenger
Antonio Conte
Mauricio Pochettino
Claudio Ranieri
Mourinho tidak pernah memaafkan Barcelona karena keputusan tersebut, kata Wilson. Sentimen tersebut berlanjut sampai akhirnya keduanya bertemu lagi dalam kapasitas sebagai pelatih.
Perseteruan keduanya menambah tinggi tensi laga el clasico antara Real Madrid dan Barcelona yang sebelumnya sudah identik dengan pertandingan keras dan emosional.
Puncaknya adalah ketika Mourinho mencolok mata asisten Guardiola, Tito Vilanova pada laga leg pertama semifinal Liga Champions 2010-2011. Pertandingan di Santiago Bernabeu tersebut berlangsung keras dan diwarnai dua kartu merah.
Jika bicara statistik head-to-head kedua klub saat el clasico, rekor keduanya imbang. Dari enam laga el clasico di bawah kendali Guardiola dan Mourinho, masing-masing menang dua kali dan seri dua kali.
Perselisihan keduanya juga membawa dampak bagi para pemain, bahkan berimbas ke tim nasional Spanyol yang didominasi pemain kedua klub. Seperti ada dua kubu besar di tubuh La Furia Roja.
Beruntung, Spanyol punya sosok pelatih Vicente del Bosque yang mampu meredam sentimen klub.
Setelah Spanyol menjadi panggung perseteruan dua mantan teman baik tersebut, kota Manchester dan Inggris akan menjadi panggung pertemuan berikutnya bagi Mourinho dan Guardiola.
Di klub baru masing-masing, Guardiola dan Mourinho akan menghadapi jadwal kompetisi padat, persaingan sengit masing-masing klub.
Belum lagi tekanan manajemen klub, tuntutan tekanan suporter, serta pengamatan dari pers Inggris yang galak. Jangan lupakan juga gengsi derbi Manchester untuk menentukan siapa yang terbaik di kota tersebut.
Ada gengsi dan prestise dalam tiap derbi, tidak kecuali derbi Manchester.
Siapa yang sanggup bertahan tidak ditentukan dari siapa yang lebih aktif bicara di depan media, melainkan kejeniusan masing-masing meramu taktik. Bagaimana, Senor Mourinho dan Senor Guardiola?
Editor | : | Aloysius Gonsaga |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar