Kontestan Liga Europa yang berasal dari peringkat ketiga fase grup Liga Champions lebih sering kalah daripada menang pada partai final Liga Europa. Bagaimana dengan musim ini?
Perubahan format Liga Champions terjadi per musim 1999-2000. Mulai musim tersebut, tim peringkat ketiga fase grup yang gagal melangkah ke babak kedua, berhak mendapat "hadiah" tampil di fase gugur Liga Europa.
Kebijakan ini langsung berbuah hasil pada musim pertama. Galatasaray menjadi juara setelah mengalahkan Arsenal yang sama-sama tersisih dari Liga Champions melalui adu penalti.
Akan tetapi, setelah Galatasaray juara, hanya lima kali tim eks Liga Champions yang bisa berhasil mengangkat trofi Liga Europa.
Dari jumlah itu, tiga di antaranya diraih dengan menciptakan final sesama "tim buangan". Hanya dua kali tim eks Liga Champions yang bisa mengalahkan kontestan "asli" Liga Europa pada laga final.
Baca Juga:
- Craig Christian: Chris John seperti 'Tuhan' di Dunia Tinju
- Zidane Minta Pemain Real Madrid Lupakan Sepak Bola
Tim eks Liga Champions justru lebih sering gagal ketika melangkah ke final dan menantang kontestan yang memang sejak awal berkiprah di Liga Europa.
Kecuali CSKA Moskva pada 2004-2005 dan Atletico Madrid pada musim 2009-2010, lima tim eks Liga Champions yang menjadi finalis justru kandas pada partai puncak. Terakhir, Dnipro pada musim lalu lantaran kalah 2-3 dari Sevilla.
Sementara itu, empat final lainnya melibatkan tim yang sama-sama berstatus kontestan Liga Europa sejak awal musim.
Final Liga Europa 2015-2016 juga akan melibatkan tim mantan kontestan Liga Champions sekaligus sang juara bertahan, Sevilla, dan Liverpool yang merupakan tim "asli" Liga Europa musim ini.
Editor | : | Jalu Wisnu Wirajati |
Sumber | : | juara |
Komentar