Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Leicester City dan Goyahnya Para Raksasa

By Lariza Oky Adisty - Selasa, 3 Mei 2016 | 06:18 WIB
Selebrasi gol pemain Leicester City, Wes Morgan, bersama rekan-rekannya usai membobol gawang Manchester United dalam pertandingan Premier League 2015-2016 di Stadion Old Trafford, Manchester, Inggris, pada Minggu (1/5/2016).
MICHAEL REGAN/GETTY IMAGES
Selebrasi gol pemain Leicester City, Wes Morgan, bersama rekan-rekannya usai membobol gawang Manchester United dalam pertandingan Premier League 2015-2016 di Stadion Old Trafford, Manchester, Inggris, pada Minggu (1/5/2016).

Munculnya Leicester City sebagai juara Premier League 2015-2016 bukan hanya karena semangat tim dan taktik racikan Claudio Ranieri. Penurunan performa tim langganan kandidat juara Premier League turut  memberi andil dalam kejayaan The Foxes.

Tidak ada yang menjagokan Leicester City sebagai juara Premier League musim ini. Tanya saja ke para bandar yang memasang probabilitas 5000:1 untuk Leicester.

Mayoritas masih menjagokan tim-tim seperti Chelsea, Manchester City, Arsenal, Manchester United, Liverpool, hingga Tottenham Hotspur.

Namun, penampilan para raksasa tersebut musim ini justru kalah ketimbang Leicester yang musim lalu nyaris
terdegradasi.

Perbedaan besar Leicester dan para tim penyandang status quo kandidat juara adalah Leicester tidak punya beban. Riyad Mahrez dkk tidak punya tekanan harus juara dari penggemar.

Bandingkan dengan klub-klub besar Premier League.

Mereka harus berpindah fokus dari Premier League, ke kompetisi seperti Piala FA, Piala Liga Inggris, Liga Europa dan Liga Champions.

Ada tekanan untuk meraih gelar juara. Semakin banyak trofi yang diraih dalam satu musim, semakin hebat.

Belum lagi drama internal mulai dari pergantian pelatih, ketidakpuasan penggemar dengan penampilan yang tidak sesuai 'standar', sampai ke masalah pemain yang mendapat sentimen negatif dari para suporter dan media.

Contoh paling nyata adalah Chelsea. Berstatus juara bertahan, The Blues justru terpuruk. Pada pekan kedua, mereka menduduki peringkat ke-16.

Hingga pekan ke-16, bayang-bayang degradasi seperti mengiringi langkah Eden Hazard dkk. Akibatnya, perubahan terpaksa dilakukan.

Jose Mourinho didepak, dan Guus Hiddink diberdayakan untuk menjadi pelatih sementara. Kedatangan Hiddink memang membawa Chelsea ke arah perbaikan.

Namun, yang dilakukan Hiddink memang hanya bersifat memperbaiki 'kerusakan' yang muncul pada awal musim.

Chelsea jelas sudah kalah lari untuk bersaing merebut trofi Premier League.

Nasib serupa tapi tidak sama terjadi pada Liverpool. Pada tiga minggu pertama, The Reds berada di posisi lima besar klasemen.

Peruntungan Liverpool berubah setelah itu. Pada pekan keenam, Jordan Henderson dkk jatuh ke posisi 13 klasemen sementara setelah imbang 1-1 melawan Norwich City.

Dua pekan kemudian, Liverpool mendepak manajer Brendan Rodgers dan merekrut Juergen Klopp. Selama kurang lebih enam bulan melatih, Klopp memberi 12 kemenangan dan 8 kali hasil imbang.

Meski cukup impresif, hasil tersebut hanya cukup membuat Liverpool menjadi kandidat meraih tiket ke Liga Europa musim depan.

Mereka baru punya harapan lolos ke Liga Champions jika memenangi Liga Europa musim ini. Liverpool masih butuh waktu penyesuaian bersama Klopp. 

Lalu, bagaimana dengan dua Manchester, Man United dan Man City, serta kubu Meriam London Utara, Arsenal?

Pada awal musim, sepertinya Man United dan Man City akan menjadi dua di antara penguasa empat besar klasemen Premier League.

Namun, kedua tim seperti menjadi korban ketidak konsistenan penampilan di liga. Baik Man United dan Man City kerap kehilangan poin penting.

Lihat saja yang terjadi pada Manchester City. Pada paruh pertama Premier League, Vincent Kompany kalah dari Tottenham Hotspur, Liverpool, dan Arsenal.

Tiga tim itu notabene lawan Man City sebagai kandidat juara.

Jangan lupakan juga bahwa Man City kerap kehilangan dari tim-tim yang di atas kertas bisa mereka kalahkan dengan mudah, seperti West Ham United, Stoke City, dan Norwich City.

Bek Manchester City, Pablo Zabaleta secara blak-blakan menuding pengumuman penunjukan Pep Guardiola sebagai suksesor Manuel Pellegrini memengaruhi kondisi skuat.

Ada keresahan tentang siapa pemain yang akan menjadi 'korban' rezim baru Guardiola di Etihad Stadium.

Di kubu Man United, Louis van Gaal tidak kunjung membuat tim Setan Merah Stabil. Dari pekan pertama hingga pekan ke-20 saja, grafik posisi mereka di klasemen naik turun di posisi enam besar.

Sama seperti Man City, Man United kerap kehilangan poin melawan tim-tim semenjana, seperti AFC Bournemouth, Norwich City, Stoke City, sampai Sunderland.

Baru pada pekan ke-21, Wayne Rooney dkk langgeng di posisi 5 klasemen sementara hingga pertandingan terakhir mereka saat imbang 1-1 melawan Leicester, Minggu (1/5/2016).

Sementara itu, Arsenal masih saja betah bergulat pada kesalahan yang sama di setiap musim; goyah jelang akhir kompetisi.

Dari pekan ke-8, Arsenal begitu nyaman di posisi empat besar klasemen. Bahkan, pada ke-19 sampai hingga ke-22, The Gunners bercokol di puncak klasemen.

Namun, tiga kali hasil seri dan satu kali kalah membuat Arsenal ke peringkat tiga. Memasuki pekan ke-35, para penggemar Arsenal harus kembali menerima tim asuhan Arsene Wenger tersebut memperjuangkan satu tempat di Liga Champions ketimbang gelar juara Premier League yang 12 tahun tidak lagi mampir.

Mosi tidak percaya terhadap Wenger semakin menguat. Untuk pertama kalinya, mayoritas suporter Arsenal seperti satu suara meminta pelatih asal Prancis tersebut mundur dari jabatan pelatih yang dia pegang selama dua dekade.

Luka Arsenal seperti bertambah karena musim ini mereka harus rela disalip rival sesama tim London Utara, Tottenham Hotspur di klasemen.

Spurs, yang sempat terseok-seok di empat pekan pertama Premier League, pelan tapi pasti merangsek ke papan atas klasemen.

Setelah aman di lima besar klasemen dari pekan ke-11 sampai 24, Harry Kane dkk kini menyodok ke peringkat ke-2 klasemen Premier League.

Praktis, hanya Spurs satu-satunya pesaing Leicester dalam memperebutkan gelar juara musim 2015-2016.

Ketika para raksasa goyah akibat tuntutan trofi dan drama dalam klub mereka sendiri, Leicester muncul sebagai underdog yang menimbulkan ketidakpastian, sekaligus antusiasme.

Alasan yang sudah cukup membuat perhatian publik teralih sejenak dari para raksasa, serta bergembira dengan kesuksesan mereka. 

 

 

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P

Editor : Jalu Wisnu Wirajati
Sumber : Berbagai sumber


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X