Untuk ketiga kali secara beruntun, Bayern Muenchen tak hanya harus berhadapan dengan wakil La Liga, tetapi juga berada dalam posisi tertinggal ketika hendak melakoni leg 2 semifinal Liga Champions.
Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Sejauh ini, sejarah tak berpihak pada Muenchen. Di dua semifinal sebelumnya, Muenchen disingkirkan oleh Real Madrid lewat skor agregat 0-5 dan dilengserkan FC Barcelona melalui hasil agregat 3-5.
Seolah sebuah bukti bahwa Pep Guardiola masih belum memiliki solusi alternatif di luar skema tiki-taka yang selama ini ia praktikkan. Muenchen memang selalu dominan, tetapi kalah dalam hasil akhir.
Kekalahan 0-1 di leg 1 saat bertamu ke Vicente Calderon adalah bukti terkini perihal sulitnya Pep membongkar barikade pertahanan rapat seperti yang diperlihatkan Atletico Madrid.
Segala bentuk keunggulan, dimulai dari ball possession (69%- 31%), total tembakan (19-11), tembakan akurat (7-5), passing (729-209), menjadi nirmakna karena skor akhir tak berpihak kepada Die Roten.
“Saya tidak suka dengan cara kami bermain di pertemuan pertama. Terlalu banyak pelanggaran dan ruang yang kami berikan pada saat Atletico menyerang. Kami harus memainkan laga dengan kecepatan yang berbeda pada leg 2,” kata Pep di situs resmi UEFA.
Di Calderon, Arturo Vidal dkk. memang tak mampu memainkan sepak bola cepat seperti biasanya.
Pep menuduh kubu Atletico sengaja tak menyiram lapangan sebelum kick-off agar aliran bola pemain Muenchen lebih lambat.
Alur bola yang lebih lambat condong menguntungkan tim dengan gaya defensif. Para pemain belakang jadi punya waktu ekstra untuk mundur guna menggalang pertahanan.
Bola yang seharusnya bisa sampai lebih cepat di kaki penyerang, jadi sedikit melambat. Begitu pula dengan timing pada saat menyepak bola. Perbedaan permukan rumput akan menghasilkan arah dan akurasi yang berbeda pula.
“Kita memang hanya berbicara sepersekian detik. Namun, dalam level sepak bola setingkat semifinal Liga Champion, yang menurut saya ajang tersulit di muka bumi, perbedaan kecil bisa sangat berpengaruh,” ungkap Diego Forlan, eks kapten Uruguay yang juga mantan bomber Atleti.
Terlepas dari faktor permukaan lapangan, mayoritas media Jerman melayangkan serangan pada Pep akibat sejumlah keputusan janggal. Salah satunya karena tidak memasukkan Thomas Mueller sejak menit pertama.
“Mueller bagi Muenchen adalah seperti (Lionel) Messi bagi Bercelona. Nyaris mustahil menggantikan mereka di laga-laga yang sangat krusial,” ucap Ottmar Hitzfeld, pelatih yang menjuarai LC 2000-01 bersama Muenchen.
Total 35 gol dalam 50 laga di seluruh kompetisi musim ini menegaskan betapa tajam Mueller itu.
Ia memang bukan tipe striker murni seperti Robert Lewandowski atau Mario Mandzukic sebelum ini.
Namun, Mueller selalu bisa memosisikan dirinya dalam ruang terbuka untuk mencetak gol. Ia juga bisa diandalkan dalam menyambut bola-bola atas.
Di Allianz Arena, Selasa (3/5), nama besar Pep akan dipertaruhkan.
Jika kembali tersandung dari wakil La Liga, publik akan mengecapnya sebagai pelatih gagal. Karena Pep didatangkan murni untuk mengantar Muenchen merajai Eropa, bukan sekadar menjuarai Bundesliga.
Muenchen dianggap bisa dengan mudah membalikkan skor 0-1. Tetapi ingat, pada saat tertinggal 0-1 dari Madrid, Muenchen justru dihajar 0-4 di Allianz.
Jika hal ini terjadi, bahkan rekor empat titel Bundesliga secara beruntun, bakal sebatas menjadi konsolasi belaka.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | BOLA Sabtu No.26 |
Komentar