Sepak bola Tanah Air pernah mengenal kompetisi Galatama (Liga Sepak Bola Utama) pada tahun 1979-1994. Liga sepak bola semiprofesional pertama di Indonesia itu boleh dibilang diikuti “klub-klub partikelir”.
Penulis: Ferry Tri Adi/Suci Rahayu/Ovan Setiawan
Dengan kata lain, klub tersebut tak bergantung dana pemerintah (subsidi dari Anggaran Penerimaan dan Pendapatan Daerah) seperti halnya perserikatan, melainkan sikap royal sang pemilik klub yang dananya berasal dari perusahaan miliknya.
Seiring berjalannya waktu, Galatama kemudian dilebur dengan perserikatan menjadi Liga Indonesia pada 1994.
Isu pengaturan skor, kerusuhan suporter, hingga menipisnya antusiasme pencinta sepak bola Indonesia menjadi alasan Galatama kurang diminati.
Tak sedikit klub peserta yang membubarkan diri, bahkan sebelum Galatama dilebur. Ada juga yang hanya beralih kepemilikan dan berganti nama berikut kandangnya.
Sebut saja klub kenamaan Pardedetex yang membubarkan diri pada 1984.
Sang pemilik, Tumpal Dorius Pardede, yang merupakan pengusaha tekstil, ketika itu tidak rela keluarganya dimaki orang lantaran prestasi klub merosot.
“Ndang olo ahu dimaki halak, (Aku tak mau dimaki orang)” katanya seperti dimuat Tabloid BOLA edisi 3 Juli 1987.
Alasan lain ialah karena Manajer Pardedetex, yang tak lain putra kedelapan T.D. Pardede, jatuh sakit akibat tekanan mental.
Beda cerita dengan Caprina, yang dimiliki Herlina Kasim. Klub itu berkompetisi di Galatama pada musim 1983/1984 dan mundur pada musim berikutnya.
Seperti dimuat BOLA edisi 21 April 1984, Herlina membubarkan klubnya bukan karena kehabisan uang.
“Sudah sejak dulu saya mengeluarkan banyak uang untuk olah raga. Jadi, sama sekali tak ada urusannya dengan uang kalau saya membubarkan klub.”
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.663 |
Komentar