Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Selamat Ulang Tahun PSSI!

By Estu Santoso - Selasa, 19 April 2016 | 12:31 WIB
Kantor PSSI di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Dok. JUARA
Kantor PSSI di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

86 PSSI. Semoga ulang tahun Federasi Sepak Bola Indonesia ini bisa menjadi tren di dunia maya via sosial media tentunya pada Selasa (19/4/2016).

Harapan ini adalah satu-satunya asa yang saya miliki. Karena semua tahu, sepak bola telah mati suri dan mengucapkan selamat pada hari ulang tahunnya saja sangat berat.

Selain itu, mengucapkan selamat saja bisa menimbulkan pro dan kontra.

Ya, pro dan kontra sama dengan yang terjadi antara PSSI dan Pemerintah Indonesia sekarang.

Bahkan, saya tak mau lagi mengingat atau bahkan meng-googling kapan PSSI dibekukan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi lalu berbuntut sanksi dari FIFA.

Lantas, apa sepak bola sekarang mati? Mati suri iya, tetapi secara organisasi di PSSI.

Namun di khalayak, sepak bola tetap hidup, sekolah sepak bola (SSB) di semua sudut negeri ini masih gerak kok melakukan ”pembinaan”.

Lha, tapi kenapa pakai tanda kutip di kata pembinaan?

Karena semua SSB dan sejenisnya hanya membina tanpa tahu tujuannya apa. Apalagi, mereka masing-masing SSB atau paguyuban SSB punya kurikulum berbeda-beda.

Dari dulu PSSI khususnya bidang pembinaan tak pernah membuat kurikulum sepak bola Indonesia yang seharusnya disebar ke seluruh negeri ini.

Tujuannya satu, semua pembinaan berbasis dari kurikulum itu.

 

Mungkin, PSSI sejak dulu tak mampu atau bisa membuat kurikulum tapi tak disebarkan karena hanya menggugurkan kewajiban.

Padahal dengan masalah itu, solusinya gampang. PSSI kan punya uang, rekrut saja direktur teknik yang kompeten atau semacam penilik sekolah.

Si pemilik sekolah ini adalah manusia yang berkompeten di pembinaan dan tentu memiliki catatan bagus dari FIFA. Semacam Peter Huistra pada beberapa tahun lalu.

Tetapi, tugas Pieter Huistra jangan diutak-atik, karena beliau fokus dalam pembinaan keseluruhan.

Bukan diserahi tugas melatih timnas gara-gara skuat Garuda tak punya pelatih.

Si penilik sekolah ini harus punya program yang dipresentasikan dan PSSI sangat kompromi dengan program yang sudah disetujui itu.

Selama ini, konsep sederhana ini tak pernah ada. Bahkan liga-ligaan kelompok usia dini dan remaja saja, masing-masing pembuatnya (baca operator) tidak jelas aturannya.

Liga A dan Liga B atau Liga X, tak saling berkoordinasi dan para pemain muda ini ’dipaksa’ main di dua liga dengan tekanan nyaris sama dengan pesepak bola pro.

Padahal, bocah-bocah ini selepas Minggu main dengan SSb-nya, pada Senin keesokan harinya harus sekolah di sekolah formal.

Semua akan beda kalau ada sistem jelas dari PSSI dan si penilik sekolah ini yang berperan.

Tentu, si penilik sekolah ini punya kaki tangah atau anak buah yang berada dalam sistemnya.

Tetapi, para anak buah si penilik sekolah ini direkrut bukan karena dia bekas wartawan PSSI atau orang yang dekat dengan petinggi hingga cukong PSSI.

Mereka itu adalah orang-orang yang paham bidangnya.

 

 

Misal, staf si penilik sekolah ini untuk mengurus statistik, ya sarjana statistik, lalu dia bersinergi dengan staf teknologi informasi dari sistem pembinaan PSSI itu.

Mereka lalu memunculkan aplikasi atau sistem pembinaan yang bisa mengantisipasi pencurian umur, tes medis, dan lain sebagainya. Saya kira ini yang harus dilakukan dan itu dimulai dari level bawah ke atas (pemain senior).

Dari semua ’mimpi’ di tulisan ini pun nanti lahirlah aplikasi yang titelnya bisa TarkamLive. Aplikasi ini adalah registrasi free bagi pelaksana turnamen antar kampung yang bisa di bawah pengawasan langsung PSSI.

Pertanyaannya lalu muncul setelah masalah dan solusi ini ada, mampukah pengurus PSSI yang usianya 86 tahun bisa melakukan? Mari merenung (dulu).

Pemerintah Juga Wajib Berperan

PSSI sudah, kini giliran Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kemenpora dan tentu Menpora-nya.

Menpora wajib konsisten dengan keputusan mereka, termasuk soal pembekuan dan pasca pembekuan nanti (jika dicabut).

Awal pekan lalu, Menpora Imam Nahrawi mencanangkan Program 1000 Lapangan.

Sebuah program yang bagus, tetapi apakah sebatas bagus saja titelnya, tentu tidak. Menpora harus memahami apakah di kolong-kolong negeri ini minim lapangan atau tidak.

Sebenarnya kalau lapangan banyak, hanya tak terawat dan asal ada saja di berbagai daerah.

Yang kini jadi persoalan adalah apakah program itu sebatas menyediakan lapangan tanpa ada yang lain. Maka, kalau tak ada, program itu akan sia-sia.

Menpora harus membuat hubungan yang sinergis dengan federasi olahraga, tak hanya sepak bola.

Jadi, Program 1000 Lapangan itu bisa dimaksimalkan sebagai hal penting untuk rakyat. Artinya, lapangan itu adalah bagian pembinaan sekaligus rekreasi.

[video]http://players.brightcove.net/4386485688001/5f5050ba-12eb-4380-b837-257aded67fbc_default/index.html?videoId=4844860629001&preload=none[/video]

Nikmati berita olahraga pilihan dan menarik langsung di ponselmu hanya dengan klik channel WhatsApp ini: https://whatsapp.com/channel/0029Vae5rhNElagvAjL1t92P

Editor : Firzie A. Idris
Sumber : juara


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X