Sejumlah citra negatif melekat pada Serie A. Sejak dulu, Serie A dipandang sebagai kompetisi yang defensif di mana klub-klubnya selalu mengutamakan pertahanan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Serie A juga disebut sebagai liga miskin. Krisis finansial membuat klub-klubnya tidak lagi agresif membeli pemain top di bursa transfer.
Mereka mendahulukan pemain berharga murah, lalu mencari pemain pinjaman atau bahkan gratisan.
Menjelang kompetisi 2015-16 berakhir, satu lagi citra buruk dimiliki Serie A. Liga Italia adalah kompetisi spesialis diving alias aksi pura-pura menjatuhkan diri yang dilakukan pemain demi mendapatkan tendangan penalti atau tendangan bebas.
Menurut situs Calciomercato, ada 25 kartu kuning yang dikeluarkan di Serie A untuk kasus diving. Jumlah itu lebih banyak daripada liga-liga top lain.
La Liga Spanyol di posisi kedua dengan 23 kartu, Premier League Inggris 20, Ligue 1 Prancis 18, sementara Bundesliga Jerman hanya enam.
Yang memprihatinkan, Serie A juga merupakan “juara bertahan” dengan 30 kartu kuning untuk kasus diving musim lalu.
Di Serie A, sebanyak 14 dari 20 klub pernah melihat pemainnya melakukan diving. Jerman hanya punya enam klub pesakitan dari 18 peserta Bundesliga.
Klub “juara diving” di Serie A adalah Atalanta, Bologna, Carpi, dan Genoa. Masing-masing memiliki tiga kartu kuning.
Sedangkan untuk pemainnya adalah Alejandro Gomez (Atalanta), Anthony Mounier (Bologna), dan Suso (Genoa) dengan masing-masing dua kartu kuning.
Pelatih Swansea asal Italia, Francesco Guidolin, mengonfirmasi budaya diving di Serie A.
“Sejak datang ke Inggris, saya belum pernah melihat aksi diving, baik yang dilakukan oleh pemain saya maupun lawan,” kata pelatih yang ketika berkarier di Italia pernah menangani Vicenza, Bologna, Palermo, Parma, dan Udinese tersebut.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Calciomercato |
Komentar