Klub sepak bola tentu erat kaitannya dengan nilai kultur dan sosial di tempat klub tersebut berada. Bagi suporter, klub sepak bola menjadi salah satu identitas sosial.
Penulis: Fery Tri Adi/Gonang Susatyo/Budi Kresnadi
Namun, apa jadinya jika klub yang dibanggakan suporter di suatu daerah harus “pindah kandang” karena kepemilikannya juga beralih?
Beberapa klub di Tanah Air mengalami nasib demikian. Bagaimana para suporter menyikapi berubahnya identitas mereka?
Baraya, pendukung Pelita Bandung Raya, mengaku sakit hati karena ditinggalkan klub.
"Jujur saja kami sakit hati dan merasa dikhianati. Padahal, kami bangga bisa menjadi pendukung PBR yang meraih prestasi bagus pada musim kedua setelah bermarkas di Bandung. Saya mengerti ini berkaitan dengan finansial, tapi apa tidak ada jalan lain agar tetap di Bandung?" kata Eko, pentolan Baraya.
Sementara itu, Pusamania menganggap proses peralihan itu sah saja. Namun, klub juga harus menghitung hal lain, seperti pengakuan dari "rumah baru".
"Sah saja kalau klub berganti kepemilikan dan mungkin juga pindah kandang. Alasannya, klub juga harus terus hidup. Kalau ada orang yang bisa menyambung napas klub, justru bagus, daripada dibiarkan lalu mati," ujar Tommy Ermanto, Ketua Pusamania.
"Namun, kembali lagi soal identitas. Secara de jure memang klub sudah beralih kepemilikan, plus kalau pindah kandang berarti mendapat atmosfer baru. Pertanyaannya, bagaimana secara de facto?" tuturnya.
"Apakah klub tersebut diakui di tempat barunya, seperti halnya di tempat lama? Hitung-hitungan seperti itu juga harus dipikirkan," lanjut Tommy.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.660 |
Komentar