Bila sudah kadung cinta, suporter rela mengorbankan apapun demi klub pujaannya. Nonno Ciccio telah menunjukkannya bahwa kecintaannya kepada Foggia tidak luntur meskipun dirinya sudah berusia 90 tahun.
Meski usianya telah senja, Ciccio masih mengikuti Foggia, di mana pun klub asal Italia tersebut bermain. Kecintaan sang kakek pada Foggia bermula saat dia menyaksikan pertandingan perdana pada 1947.
Saat itu, Ciccio dipengaruhi rekannya untuk mencuri sepeda pamannya dan menggowes sepeda tersebut sepanjang 54 kilometer menuju kota untuk menyaksikan Foggia bertanding. Sejak saat itu, dia terpaku dengan Foggia.
Ciccio merupakan ultra atau suporter garis keras yang membenci kekerasan. Hal tersebut tidak terlepas dari pengalaman dia pada masa perang. Selama perang dunia kedua, Ciccio bergabung dengan organisasi militer atau Italian Blackshirts dan dia dikirim untuk bertempur di Afrika Utara.
Setelah sebulan melakoni pertempuran berat, dia ditangkap oleh militer Inggris. Dia kemudian dikirim ke Skotlandia sebagai tawanan perang. "Mereka memperlakukan saya di sana lebih baik daripada pemerintah Italia yang tak memberikan uang pensiun sampai hari ini," katanya.
Pertandingan pertama yang disaksikannya setelah konflik adalah partai melawan Pescara. Namun, perang mengajarkannya sesuatu. "Perang mengajarkan saya untuk memiliki dan menghormati kehiduapan," tuturnya.
Petualangan bersama Foggia telah membawa dia ke mana pun dan dia anggap sebagai ultra atau seorang suporter garis keras. "Saya bersedia melakukan apapun untuk tim saya. Apapun yang dibutuhkan, saya tidak pernah menyerah dan selalu menemukan cara untuk menghibur tim," jelasnya.
Dia telah berkunjung ke hampir semua stadion besar di Italia, tempat bersejarah, dan perkotaan. "Sepak bola adalah cara saya melihat negara saya. Jika bukan karena semangat ini, saya tidak akan pernah memiliki pengalaman mengunjungi sejumlah tempat yang luar biasa," ujarnya.
Berhati mulia
Sebagai suporter garis keras, Ciccio selalu menyebarkan perdamaian. Pesan perdamaian berada dalam spanduk yang selalu dibawanya. Spanduk tersebut bertuliskan,"Peace between ultras."
Ciccio memiliki anggapan bahwa mencintai klub adalah tentang menghormati lawan. "Saya tidak merayakan kemenangan saat saya bertandang ke markas lawan. Saya mengagumi suporter lain dan mendukung Foggia dengan mengibarkan benderaku dan saya membiarkan anak-anak tahu bahwa saay ada untuk mereka. Itu adalah filosofi saya," jelasnya.
Di sebuah negara di mana kekerasan sering dianggap sebagai sebuah kultur suporter, Ciccio menjadi sebuah mercusuar harapan. Perspektif dan wawasannya diambil sebgaian besar dari pengalaman pada masa perang.
"Perang adalah mengerikan! Dengan sepak bola, Anda bisa belajar untuk menghormati lawan Anda di stadion. Anda bisa belajar melakukan hal sama dalam kehidupan," ujarnya.
Semoga panjang umur Nonno Ciccio! Dia mengingatkan kita semua bahwa mendukunga klub bukanlah kejahatan tetapi kesempatan untuk mempelajari pelajaran penting dari kehidupan.
Editor | : | Estu Santoso |
Sumber | : | Telegraph |
Komentar