Keputusan Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) menjadi momentum penting bagi PSSI.
Penulis: Kukuh Wahyudi
Federasi Sepak Bola Indonesia itu kini mengklaim SK sanksi administratif atau pembekuan yang dikeluarkan Kemenpora otomatis tak berlaku lagi.
PSSI pun telah mengambil ancang-ancang untuk menjalankan program yang selama ini terhenti, seperti kompetisi berlabel Indonesia Super League (ISL).
“Pak Ketum (La Nyalla Mattalitti) telah memerintahkan agar ISL bisa digulirkan. Sebab, ajang itu adalah jantung sepak bola nasional,” kata Aristo Pangaribuan, Direktur Hukum PSSI.
Lantas, apakah operator ISL, PT Liga Indonesia, sudah siap untuk menggulirkan ajang tersebut? Terlebih lagi, PT LI sedang membawahi PT Gelora Trisula Semesta (GTS), yang akan menggelar Indonesia Soccer Competition (ISC).
Mengacu pada skenario awal, bila dalam masa persiapan ISC ternyata PSSI dipersilakan aktif lagi oleh Kemenpora, maka bisa saja ISC berubah menjadi ISL. Namun, fakta di lapangan berkata lain.
Sekretaris PT LI, Tigorshalom Boboy, masih sedikit ragu apakah perubahan ISC menjadi ISL bisa dilakukan dengan mudah.
“Secara teknis, ISC memang bisa berubah menjadi ISL. Tetapi, saya belum bisa berkomentar banyak lantaran belum ada komunikasi dari PSSI. Semua itu hak federasi,” ucap Tigor.
Menurut Tigor, butuh penyesuaian lagi pada unsur regulasi, setidaknya ada tiga hal mendasar. Pertama, ISC tak mengenal sistem promosi dan degradasi. Bila menjadi ISL, maka akan ada proses seperti itu.
“Apakah klub sudah siap? Selama ini klub cenderung lebih santai mempersiapkan diri mengikuti ISC karena tak ada beban degradasi,” ujar Tigor.
Poin kedua terkait International Transfer Certifi cate (ITC). ISC tak mengenal ITC sekalipun untuk pemain asing yang baru menginjakkan kakinya di Indonesia. Bila berbicara ISL, hal itu menjadi kewajiban.
Ketiga, soal verifikasi peserta yang mengacu pada program Lisensi Klub AFC yang akan diberlakukan di ISL. Lagi-lagi, Tigor mempertanyakan kesiapan klub.
PK?
Sementara itu, Aristo berharap agar Menpora tak melanjutkan proses hukum ke tahap Peninjauan Kembali (PK). Menurutnya, tak ada hal yang menjadi dasar Kemenpora mengajukan PK.
“Bisa diajukan PK jika ada keadaan luar biasa, seperti bukti palsu dari PSSI, kekhilafan yang nyata dari PSSI, dan ada bukti baru. Sejauh ini kan tidak ada, maka tak ada syarat,” tuturnya.
“Tak hanya itu, menurut UU No. 14 Tahun 1985 Pasal 66 ayat 2, permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan (MA). Sudah seharus PSSI bisa aktif kembali,” kata Aristo melanjutkan.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar