Rumor panas beredar di jajaran klub Divisi Utama (DU). Saat tengah melakukan persiapan mengikuti turnamen Indonesia Soccer Championship (ISC) Seri B, mereka dikabarkan mendapat bujukan Tim Transisi.
Penulis: Persiana Galih, Gonang Susatyo, Nursyifa
Tim Transisi yang dibentuk Menpora Imam Nahrawi kini disebut tengah merancang sebuah kompetisi atau turnamen dengan format kompetisi bagi klub kasta kedua ini.
Berita itu muncul di antara pemangku kepentingan klub-klub Divisi Utama, baik saat mengadakan pertemuan maupun lewat pesan elektronik pribadi.
Menanggapi hal itu, klub-klub DU memilih menunggu dan memantau perkembangan.
Sekretaris Persiba Bantul, Wikan Wirdo Kisworo, mengaku telah memperoleh informasi tersebut.
“Kami memang sudah mendapat informasi kompetisi bentukan Tim Transisi. Rencananya, Tim Transisi mengundang tim Divisi Utama sebagai persiapan untuk kompetisi. Namun, kami belum bisa mengambil sikap karena belum menerima undangan,” ujar Wikan, beberapa haru lalu.
Wikan mengatakan timnya fokus dalam mempersiapkan diri mengikuti turnamen ISC.
Komentar serupa disebutkan Direktur Sport PT Persis Solo Saestu, Totok Supriyanto. Ia mengaku mengetahui kabar burung tersebut walau belum sempat mendalaminya.
“Kami wait and see saja. Apalagi, belum ada kepastian dari Tim Transisi. Tentu kami butuh informasi soal format kompetisi Tim Transisi dan waktu pelaksanaannya," kata Totok.
Rumor panas itu membuat sebagian klub DU khawatir. Mereka takut peristiwa dualisme kompetisi yang dialami Indonesia pada 2012 terulang lagi.
“Rumor itu membuat sejumlah klub pasang strategi. Ada yang memanfaatkannya dengan berencana membentuk dua tim berbeda. Satu tim tampil di ISC dan tim lain bermain di kompetisi Tim Transisi,” ujar sumber BOLA yang enggan identitasnya disebutkan.
“Yang jelas, bila hal ini terealisasi, dualisme kompetisi dipastikan bakal muncul lagi,” kata dia.
Mengulang Sejarah
Wajar saja jika sejumlah klub mengkhawatirkan adanya breakaway league atau dualisme kompetisi di Indonesia.
Peristiwa ini sama seperti yang pernah mereka rasakan di periode 2010-2013, di mana dualisme kompetisi ISL dan Liga Primer Indonesia (LPI) terjadi di Tanah Air.
Cikal bakal LPI muncul sejak 2010. Kala itu, LPI masih berstatus sebagai kompetisi ilegal atau tak diakui PSSI.
Kondisi berubah sejak Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, lengser pada 2011.
Politikus partai Golkar ini digantikan oleh mantan Sekjen KONI, Djohar Arifin.
Di awal kepengurusan Djohar, PSSI justru mengakui LPI sebagai kompetisi yang legal dan ILS menjadi ilegal.
Keputusan ini menuai banyak protes juga kecaman dari banyak pihak, termasuk dari sebagian pengurus PSSI.
Kubu yang kontra itu akhirnya membentuk Komite Penyelamat Sepak bola Indonesia (KPSI) yang menaungi ISL.
Seiring dengan dualisme di tubuh PSSI, muncul pula sebuah Komite Normalisasi yang pada akhirnya mampu menyatukan PSSI dan KPSI pada Kongres Luar Biasa 2013.
Dampak dualisme klub itu pun masih tersisa hingga kini, seperti kasus Persebaya dan Arema yang tak lolos verifikasi BOPI pada ISL 2015.
Akankah kesemrawutan kompetisi di Indonesia terulang lagi? Jangan sampai kita tidak belajar dari apa yang sudah terjadi.
Editor | : | Weshley Hutagalung |
Sumber | : | Tabloid BOLA |
Komentar