Kiper Juventus, Gianluigi Buffon (38), mengungkapkan kalau ia tak akan bertahan di puncak seperti sekarang apabila dirinya tidak memenangi pertempuran melawan depresi pada awal 2000-an.
Buffon berbicara tentang masa sulitnya antara 2003 dan 2004.
Ia dikabarkan menderita secara mental dan emosional setelah kekalahan Juventus pada babak adu penalti di final Liga Champions 2003.
Saking depresinya, Buffon bahkan sampai dikatakan sering gemeteran apabila memasuki lapangan hijau.
"Kondisinya seperti saya tak bisa mengendalikan isi kepala saya sendiri, pikiran saya selalu kemana-mana," tutur Buffon kepada ABC.
Kiper kelahiran Carrara, Italia, itu mengaku tak akan bisa melewati periode tersebut tanpa bantuan medis dan temannya, petenis Swiss, Roger Federer.
"Pada masa itu, saya bertarung sengit dengan isi kepala saya sendiri," ujar pria yang telah tampil dalam lebih dari 565 laga bagi Juventus itu.
"Tanpa bantuan dokter dan obat-obatan saya tak akan bisa melalui periode tersebut. Saya harus memulai semuanya dari nol," lanjut Buffon.
[video]http://video.kompas.com/e/4743311558001_ackom_pballball[/video]
Sang kiper mengatakan kalau periode tersebut merupakan masa persimpangan di kariernya. Ia mengaku tak bisa seperti sekarang apabila menyerah dalam pertempuran tersebut.
"Saya bangkit lebih kuat dan lebih dewasa setelah pengalaman traumatis tersebut," lanjutnya. "Memenangi pertarungan lawan depresi tersebut adalah momen terbaik dalam hidup saya."
Sang kiper juga mengakui kalau ia dapat berjaya dari kemunduran itu berkat bantuan Federer.
"Saya seorang pengagum dan teman Federer, saya sering berbincang padanya dan saya suka kekuatan mentalnya," tutur Buffon lagi.
"Secara psikologis, tenis adalah olahraga tersulit. Apabila Anda menang, kejayaan milik Anda tapi jika kalah, Anda tak bisa menyalahkan orang lain. Konsep ini patut diterapkan dalam olahraga dan juga hidup," tuturnya lagi.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | ABC |
Komentar