Terhitung sejak Kemenpora memberikan sanksi administratif kepada PSSI (Maret 2015), yang berujung jatuhnya sanksi FIFA untuk Indonesia (Mei 2015), hampir satu tahun kisruh sepak bola nasional berlangsung tanpa ada kejelasan. Selama periode tersebut pula sekitar 90 persen pemain Indonesia kehilangan sumber nafkah mereka.
Sanksi administratif yang dijatuhkan Kemenpora kepada PSSI berujung terhentinya Liga Super Indonesia 2015, yang baru memasuki pekan pertandingan kedua.
Terhentinya kompetisi kasta tertinggi di Tanah Air tersebut juga berdampak batal bergulirnya kasta-kasta di bawah LSI, seperti Divisi Utama 2015, Liga Nusantara, LSI U-21, dan Piala Suratin.
Tanpa adanya kompetisi resmi berjenjang tersebut, muncul kemudian turnamen-turnamen berskala nasional yang awalnya dibuat untuk mengisi kekosongan kompetisi.
Setidaknya sudah ada tiga turnamen berskala nasional yang digelar hingga awal tahun 2016, yakni Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, dan Piala Jenderal Sudirman.
Namun, masalah tak berhenti di situ. Pada awal Januari 2016, Asosiasi Pemain Profesional Indonesia (APPI) resmi mengeluarkan ajakan boikot turnamen
Wacana itu muncul karena APPI menilai tak semua pemain di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk tampil di turnamen-turnamen tersebut.
Menurut data penghitungan Tabloid BOLA, hanya sekitar 6 persen dari total pemain di Tanah Air yang berkesempatan tampil di Piala Kemerdekaan, Piala Presiden, atau Piala Jenderal Sudirman.
Dengan kata lain, ada sekitar 94 persen pesepak bola di Indonesia yang masih kehilangan pekerjaan. Penghitungan yang dilakukan BOLA mengacu pada data PT Liga Indonesia terkait musim kompetisi 2015.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.651 |
Komentar