good yang lain.
Sudah berubahkah Ali?
Tentu.
Yang jelas, ia bukan lagi juara dunia; ia bukan lagi petinju dengan pukulan-pukulan yang menyengat bagai lebah; ia bukan lagi boxer dengan gerakan yang melayang bagai kupu-kupu.
Apalagi, ia bukan lagi The Greatest, julukan yang hanya menunjukkan keangkuhannya.
Ia tidak lagi memiliki pukulan dengan bobot palu godam yang membuat Sonny Liston terjungkal, Henry Cooper tergusur, Joe Frazier minta ampun, George Foreman kewalahan.
Ali sudah pensiun. Ali sudah menggantung sarung tinjunya, dan menaruhnya jauh di gudang sana.
Ia kini kembali ke Jakarta tidak seperti ketika pertama kali datang ke Senayan, dan bertarung 12 ronde melawan petinju Belanda, Rudi Lubbers.
"Aku datang untuk menjumpai saudara-saudaraku, kaum Muslim yang dulu tidak pernah kuperhatikan karena aku sibuk dengan bisnisku sebagai petinju," begitu katanya ketika Selasa lalu tiba di Jakarta setelah perjalanan panjang dari Los Angeles.
Suaranya halus sekali. Kedua tangannya gemetar, seperti tak mampu menahan berat mikrofon. Ketika ia berjalan pun tubuhnya yang begitu membengkak seperti melayang.
Ali sekarang memang bukan Ali yang dulu. Ia, seperti katanya sendiri juga, kini datang untuk berdakwah. Sambil menemani teman-temannya, seperti Tim Witherspoon dan Larry Holmes, yang akan manggung di Istora Senayan, Ahad malam mendatang.
Tapi, siapa bisa bilang masa lalu Ali tak cemerlang? Siapa berani bilang ia bukan salah satu petinju terbesar sepanjang zaman?
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 316, Minggu Ketiga Maret 1990)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar