citanya memang ingin juara di depan publiknya sendiri. Ia juga ingin melengkapi kemenangannya 2 pekan lalu di sirkuit Phoenix, AS. Dan semua itu hampir jadi kenyataan di sirkuit Interlagos hari Minggu 25 Maret lalu.
Sayang, cita-cita tinggal cita-cita, Satoru Nakajima - pembalap Jepang yang memakai Tyrrell menghapus cita-citanya. "Tolong, katakan pada dia, tulis besar-besar, saya minta maaf. Seujung rambutpun, saya tak mengira kejadian itu bakal berlangsung," ungkap Nakajima, menunjuk kejadian yang mengecewakan Senna dalam putaran ke-41.
Dengan penuh sesal, Nakajima bertutur, bagaimana ia melihat bendera biru dikibarkan saat dia lewat. "Tiba-tiba saya terjebak dalam lintasan berdebu dan nyaris slip. Ketika saya berupaya untuk kembali pada posisi semula, Senna lewat. Senggolan yang menyakitkan tak bisa dihindari," tuturnya yang akhirnya hanya berada di peringkat ke-8.
Senggolan yang berbuntut turunnya Senna dari McLaren-nya untuk membenahi kembali moncong Formulanya yang mencong. "Saya kehilangan waktu 50 detik. Saya sebal," kata Senna, sewot.
Cemberut
Gagalnya Senna menjuarai Grand Prix ke-2 tahun ini, tentu saja mengecewakan Ron Dennis, manajer McLaren. "Saya mengerti apa yang tengah dia rasakan. Apapun, Senna ingin menjadi juara di depan publiknya sendiri, yang selalu mendambakan Senna selalu juara," katanya. "Dan peluang itu," lanjut Dennis, "sungguh besar. Baik, di sini kami kehilangan gelar, namun bukan untuk selamanya."
Kekecewaan Senna juga dimengerti sang juara, Alain Prost. "Dia cemberut terus. Saya menyalaminya, tapi tak ada sambutan. Yah, begitulah," ujar Prost.
Buntut perginya Prost dari McLaren? "Tak tahulah," tambah Prost yang mengaku senang tak kepalang mampu menundukkan sirkuit di Brasil untuk keenam kalinya.
Yang jelas, kegagalan Senna untuk berjaya di muka publiknya ini pernah dialaminya juga tahun lalu di Sirkuit Rio de Janeiro. Senna, kala itu juga menjadi pembalap favorit juara. Sayang, persaingannya di sirkuit bersama Gerard Berger yang memakai Ferrari membuat keduanya harus out dari lomba. "Saya tahu banyak bagaimana dia. Saya juga senang bekerjasama dengan dia. Dan di Grand Prix kali ini, sebetulnya menurut saya peluang sudah di depan matanya. Sayang, gagal," komentar Berger yang kini menjadi rekan se-timnya.
Meskipun kali ini Senna hanya berada di peringkat ke-3 di belakang Berger, lewat kemenangannya di Phoenix, ia masih memimpin dengan 13 poin. "Setelah kejadian itu," ujar Senna, "keinginan saya hanya menyelesaikan sisa putaran saja. Saya tahu, tak mungkin lagi untuk menjadi juara. Dan impian saya untuk menang di depan penggemar dan publik saya sendiri ternyata tetap impian."
(Penulis: Indrie HP, Mingguan BOLA Edisi No. 318, Minggu Kelima Maret 1990)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar