negara di Pegunungan Andes untuk membuat FIFA menarik kembali larangan bermain sepakbola internasional di ketinggian 2.500 meter. Namun, badan sepakbola dunia tersebut tetap saja pada keputusannya.
Kamis (14/6), seorang dokter Bolivia bernama Ivo Eterovic, yang juga anggota Komisi Medis Conmebol (Federasi Sepakbola Amerika Latin), menyatakan FIFA setuju untuk membatalkan larangan tersebut.
Menurut Eterovic, FIFA melonggarkan sedikit kebijakan dengan memperbolehkan partai internasional di ketinggian 2.800 meter, namun tetap saja tidak melebihi 3.000 meter.
Namun, sehari berikutnya, juru bicara FIFA mengeluarkan bantahan. “Satu-satunya badan yang bisa mengubah peraturan adalah Komisi Eksekutif karena mereka yang menetapkan aturan tersebut,” ujar sang jubir kepada Reuters.
“Nah, Komisi Eksekutif tidak bertemu untuk melakukan rapat hingga 27 Juni. Jadi, hingga saat itu tiba, aturan tersebut masih tetap berlaku.” FIFA memang membuat banyak negara Amerika Latin terperangah saat merilis kebijakan baru tersebut pada 27 Mei lalu. Larangan yang dianggap diskriminatif tersebut disambut kekecewaan oleh sejumlah negara yang terbentang di Pegunungan Andes di mana isu tersebut telah menjadi isu politik.
Presiden Bolivia, Evo Morales, dikabarkan sempat meminta Pele agar membantu dalam membujuk para petinggi FIFA. Sayang, legenda Brasil tersebut termasuk salah satu pendukung larangan FIFA.
Presiden Morales lantas sengaja bermain sepakbola di sebuah puncak gunung di Bolivia bersama para menterinya. Padahal, gunung bersalju itu mempunyai ketinggian nyaris mencapai 6.000 meter di atas permukaan laut.
Yang jelas Komite Eksekutif Conmebol akan segera bersidang untuk membahas dan mencari jalan keluar untuk mengatasi isu sensitif tersebut.
Opini Terbelah
Opini negara-negara Amerika Selatan memang terbelah dalam merespons larangan FIFA. Brasil, misalnya, termasuk yang paling mendukung. Ini lantaran mereka selalu mengalami kesulitan saat bertandang ke stadion-stadion berudara tipis.
Awal tahun ini, misalnya, klub Flamengo mengeluarkan protes keras setelah melakoni partai Piala Libertadores di ketinggian hampir 4.000 meter melawan klub Bolivia, Real Potosi. Uniknya, ofisial Potosi menolak protes tersebut dengan menyatakan bahwa mereka ogah main di Rio de Janeiro karena “panas dan banyak nyamuk”.
Anda mungkin masih ingat bahwa kekalahan pertama yang diderita Tim Samba di kualifikasi Piala Dunia terjadi saat bermain di La Paz, ibu kota Bolivia, pada 1993.
Andai pertandingan hanya dibatasi pada ketinggian 3.000 meter, Quito dan Bogota, ibu kota Ekuador dan Kolombia, masih bisa bertindak sebagai tuan rumah.
Namun, La Paz tetap tak bisa jadi host partai internasional. Soalnya kota ini terletak di ketinggian 3.600 meter dari permukaan laut.
(Penulis: Barry Manembu)
Editor | : | Caesar Sardi |
Sumber | : | Selasa 19 Juni 2007, BOLA Edisi No. 1.733 |
Komentar