11 April, seiring agenda pemilu legislatif 2014. Mereka yang sehari-hari menggantungkan penghasilan dari kompetisi ikut terkena dampak. Namun, tak selamanya mereka berdiam diri menanti rezeki datang. Bagi beberapa kalangan, seperti para penjual kostum dan makanan yang biasa berdagang di seputar stadion, masa jeda kompetisi membuat pemasukan menurun.
Warung Bu Sri yang buka di Stadion Maguwoharjo, Sleman, menjadi contohnya. Saat Persiram atau PSS Sleman menjalani laga kandang, pendapatan Sri naik menjadi Rp300 ribu dari hari-hari biasa yang berkisar Rp100-200 ribu. Angka itu bisa melonjak hingga Rp1,5 juta bila timnas yang bertanding.
“Kalau kompetisi libur, warung memang jadi lebih sepi. Tapi, tak masalah karena karyawan stadion selalu datang ke warung,” ujar Sri, 52 tahun.
Di Bandung, beberapa pedagang jersey yang biasa berjualan di sekitar Stadion Sidolig mengaku libur kompetisi tidak terlalu berpengaruh terhadap omset mereka.
Tak mau berpangku tangan mencari rezeki saat break liga dilakukan Agus Supriyadi dan Suhadi. Keduanya kembali ke profesi utama yang digeluti sehari-hari. Agus menjadi pelatih angkat besi PABBSI Karawang, sementara Suhadi menjadi tukang sablon dan penjahit kostum sepak bola di Surabaya.
Saat laga kandang dimainkan, Agus menyulap kantornya yang terletak di zona barat Stadion Singaperbangsa menjadi warung makanan dan minuman, sedangkan Suhadi menjadi calo tiket saat Persebaya atau tim lain bermain di Kota Pahlawan.
“Jadi calo tiket hanya pekerjaan sampingan sehingga tak masalah jika kompetisi libur. Memang pemasukan dari calo tiket kadang lebih besar, untungnya bisa dua-tiga kali lipat, tetapi saya tetap bisa menekuni pekerjaan utama,” kata Suhadi.
Agus sepakat dengan hal itu. Meski ia bisa meraup keuntungan dua kali lipat saat Persita bermain di Karawang, libur kompetisi tak membuat Agus kelabakan karena ia masih memiliki sumber pemasukan lain.
Penulis: Budi K/Fahrizal A./ Gonang S./Erwin S.; Sumber: Harian BOLA
Editor | : | Bolanews |
Komentar