Pada saat sepak bola nasional dicampuri urusan kepentingan atau putaran kompetisi yang cuma mengejar kepuasan sesaat serta rating televisi. Ada baiknya, kita alihkan mata dan hati ke Tulehu, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah.
Di lapangan sepak bola berumput jarang di desa adat yang letaknya 25 kilometer sebelah timur laut Kota Ambon itu, sebuah harapan tak pernah berhenti ditanamkan.
Di lapangan Matawaru yang dikelilingi pemakaman muslim dan perkampungan warga, serta tak ketinggalan sapi berikut kotorannya bertebaran di sudut-sudut lapangan, tumbuh subur hasrat dari anak-anak Tulehu untuk menjadi pemain sepak bola.
Ada tiga sekolah sepak bola (SSB)yang aktif dan menjadi jembatan mimpi anak-anak berusia 9 hingga 17 tahun, yakni Tulehu Putra,Maehanu FC, dan Persenal FC.
Tiga SSB itu menjadi sarana agar mereka bisa mengikuti jejak para pemain tim nasional asal desa itu, seperti Imran Nahumarury, Rachel Tuasalamony, Ramdhani Lestaluhu, Alfin Tuasalamony, Chairil Anwar Ohorella, Hendra Adi Bayau, Hasyim Kipuw, dan Rizky Sanjaya Pellu.
"Meski Desa Tulehu baru dikukuhkan sebagai kampung sepak bola pada Februari 2015, sejarah sepak bola di desa ini sudah lama sekali. Sejak dahulu tertanam hasrat dan tradisi bahwa anakanak desa ini harus bisa menjadi pesepak bola," tutur Sani Tawainella, pendiri SSB Tulehu Putra.
Sani adalah mantan pemain yang pernah memperkuat timnas Indonesia U-15 di Turnamen Pelajar Asia 1996 di Brunei Darussalam.
Saat kerusuhan di Ambon pecah tahun 1999, Sani yang pertama kali mengajak anak-anak Desa Tulehu untuk berlatih sepak bola di Matawaru. Awalnya tindakan Sani itu kurang mendapat respons.
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.646 |
Komentar