Julukan Tinkerman bukanlah pujian, melainkan sindiran untuk Claudio Ranieri. Sebab, kebijakan Ranieri merotasi pemain acap kali tak menjadi solusi.
Kebiasaan itu dimulai Ranieri ketika menangani Chelsea pada 2002-2003. Dia bisa dibilang menentang arus karena kebanyakan pelatih masih memegang teguh istilah "Don't change the winning team".
Akan tetapi, Ranieri berkilah, "Apabila Anda hanya membutuhkan sebelas pemain inti ditambah tiga atau empat pemain cadangan, mengapa Christopher Columbus harus berlayar ke India untuk menemukan benua Amerika?"
Alhasil, hanya ada tiga pemain Chelsea yang mendapatkan jatah lebih dari 3.000 menit pada ajang Premier League. Mereka adalah Carlo Cudicini, William Gallas, dan Frank Lampard.
Salah satu tujuan dari kebijakan Ranieri adalah untuk menjaga kondisi fisik Gianfranco Zola yang sudah menginjak usia 35. Zola selalu menjadi starter, tetapi hanya bermain rata-rata 70 menit setiap pertandingan.
Kiper yang direkrut Chelsea pada era Ranieri, Mark Bosnich, mengapresiasi kebijakan tersebut. Menurut dia, pemain akan terus membumi. Namun, tak seluruh anggota skuad bisa menerima kebiasaan Ranieri.
"Kebiasaan mengutak-atik tim tidak bagus untuk kelangsungan tim. Kadang, Ranieri mengalami masalah dengan beberapa pemain besar di tim," kata Bosnich.
Rotasi ala Ranieri sering diterapkan ketika Chelsea melakoni jadwal padat, salah satunya pada akhir Desember 2002. Chelsea harus menghadapi Southampton, Leeds United, dan Arsenal dari Boxing Day 2002 hingga Tahun Baru 2003.
Formula rotasi Ranieri justru tak ampuh. Chelsea gagal memenangi tiga laga tersebut, bahkan dua di antaranya berakhir dengan kekalahan.
Rentetan hasil negatif memaksa Chelsea terlempar dari zona dua besar. Sejak itu, mereka tak pernah lagi mendekati puncak klasemen. Untungnya, Chelsea mampu mengakhiri musim di posisi keempat sehingga berhak tampil di Liga Champions untuk musim 2003-2004.
Pengikut
Dalam sepak bola modern, Tinkerman malah menjadi wabah. Setiap pelatih tim besar dituntut merotasi skuad untuk mengantisipasi jadwal padat. Pelatih juga tak boleh terpaku pada satu skema agar tak mudah ditebak lawan.
"Saat saya memulai karier pada 1990, orang-orang berkata, 'Mengapa Anda mengubah sistem?'. Saat ini, kebanyakan manajer justru mengubah sistem saat pertandingan," kata Ranieri pada Agustus 2015.
Diklaim Ranieri, salah satu pengikutnya adalah pelatih Bayern Muenchen, Josep Guardiola. Bayern era Guardiola tak melulu menggunakan skema empat pemain belakang. Enam dari total 16 partai Bundesliga musim ini dilakoni The Bavarians dengan formasi tiga bek.
"Saat melawan tim asuhan Guardiola, Anda tak akan mengetahui apakah akan menghadapi tiga, empat, atau lima pemain belakang. Anda pun tak bisa mengatakan kepada pemain Anda, 'Mereka bisa bermain dengan cara A atau B.' Anda tak pernah mengetahuinya," tutur Ranieri.
Baca juga - Hitzfeld: Pep Guardiola Akan Tangani Man. City
Tak cuma mengubah formasi, Guardiola mengutak-atik susunan tim inti. Apabila ditelaah, tak satu pun pemain non-kiper Bayern diturunkan sebagai starter pada 16 partai Bundesliga musim ini.
Ada banyak Tinkerman di tim-tim besar Premier League. Tengok saja kebijakan Louis van Gaal di Manchester United, Manuel Pellegrini di Manchester City, atau Jose Mourinho di Chelsea.
Di Manchester United, hanya Juan Mata yang selalu tampil sebagai starter pada partai liga. Sementara itu, tak satu pun pemain Chelsea atau Manchester City membukukan kontinuitas serupa Mata.
Khusus untuk Chelsea, Jose Mourinho melakukan bongkar pasang untuk mencari performa terbaik tim yang tak kunjung datang. Dia sempat mencadangkan bintang semacam John Terry, Eden Hazard, atau Diego Costa karena dianggap mengalami grafik menurun.
Tinggalkan cara lama
Sebaliknya dengan Ranieri. Dia berbeda dengan dirinya 12 tahun lalu. Bersama Leicester City yang hanya berkiprah di kompetisi domestik, Ranieri tak harus memutar otak untuk menjalani jadwal padat.
Alhasil, Ranieri tergolong jarang mengutak-atik susunan pemain. Ada lima pemain yang selalu menjadi starter pada 16 partai Premier League, yaitu Kasper Schmeichel, Wes Morgan, Robert Huth, Danny Drinkwater, dan Jamie Vardy.
Catatan tersebut merupakan yang terbanyak dibandingkan kontestan Premier League lainnya. Hanya Watford yang mampu menyamai jumlah tersebut.
Bukan tanpa alasan. Performa puncak pemain semacam Vardy atau Mahrez terlalu sayang untuk dilewatkan.
Baca juga:
Leicester City Punya Sosok seperti Messi
Snack Rasa Jamie Vardy Jadi Rebutan
Vardy sudah mencetak 15 gol di Premier League atau setara dengan total lesakan Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi di La Liga. Adapun Riyad Mahrez terlibat dalam 18 gol Leicester musim ini.
Terakhir, gol Vardy dan Mahrez membawa Leicester menang atas Chelsea, Senin (!4/12/2015). Kemenangan ini mengokohkan Leicester di puncak klasemen dengan koleksi 35 poin dari 16 pertandingan.
[video]http://video.kompas.com/e/4661359478001_ackom_pballball[/video]
"Kami harus melanjutkan kerja keras karena saya tak mau terbangun dari mimpi. Saya ingin terus bermimpi dengan suporter kami," ucap Ranieri.
Ranieri memang tengah merajut mimpi. Belum ada gelar juara liga di curriculum vitae pelatih kelahiran Roma ini. Prestasi terbaiknya hanyalah menjuarai ajang selevel Piala Liga atau Piala Super.
Andai susunan klasemen bertahan hingga akhir musim, Ranieri tak cuma merealisasikan mimpi. Dia sekaligus menghapus predikat atau sindiran Tinkerman yang melekat dalam dirinya.
[video]http://video.kompas.com/e/4661327840001_ackom_pballball[/video]
Editor | : | |
Sumber | : | Berbagai sumber |
Komentar