Final Piala Uber 1996, Indonesia bertemu Cina di Hong Kong. Christina Finarsih tampil sebagai ganda kedua bersama Lily Tampi menghadapi pasangan Qin Yiyuan/ Tang Yongshu. Saat itu Indonesia sudah unggul 2-1. Bila menang, Indonesia bakal mempertahankan gelar.
Tampil sebagai penentu, Finarsih bermain kesetanan. Lawannya pun dihabisi 15-9, 15-10. Usai meraih poin terakhir yang memastikan Piala Uber kembali ke Indonesia. Finarsih langsung berpelukan dengan Lily Tampi. Pemain dan ofisial pun menyerbunya.
Mempertahankan Piala Uber 1996 menjadi salah satu pencapaian terbaik Finarsih sejak menghuni pelatnas bulu tangkis pada 1990. Bersama Lily Tampi, dia pernah menjadi ganda putri terbaik dan peringkat pertama dunia serta tampil dua kali di Olimpiade Barcelona 1992 dengan hasil perempat final, dan Atlanta 1996 dengan mencapai 16 besar.
“Semua karena kuasa Tuhan. Saya tak pernah bermimpi menjadi pemain nasional saat menekuni bulu tangkis. Saya bermain karena menyukai olah raga itu. Keluarga saya pun bukan dari lingkungan atlet. Kami menyukai bulu tangkis seperti orang kebanyakan karena olah raga itu memang merakyat,” ungkap ibu satu anak kelahiran Godean, Yogyakarta, ini.
Talenta Fina, sapaannya, terlihat oleh seorang guru saat mengikuti Porseni SD. Mendapat saran itu, ayahnya pun memasukkan Finarsih ke sekolah bulu tangkis PB Sinar Mataram pada 1982. Perjuangan keras pun dijalani Finarsih. Setiap latihan di kawasan Kridosono, dia harus menempuh jarak sampai 25 km dengan bersepeda.
“Saya bertekad berlatih meski harus bersepeda dengan jarak jauh. Soalnya, ayah hanya petani meski juga staf TU di sekolah. Bayar PB itu tidak murah. Untuk nyenar harus menunggu ayah gajian. Karena itu, saya tak menyerah,” jelasnya.
Saat libur, Finarsih tetap berlatih sendirian di rumah. Latihannya? Berlari mengelilingi sawah setiap pagi dan sore.
Finarsih menolak menyerah meski jarak tempat latihan bertambah jauh saat dia dinyatakan lulus sekolah bulu tangkis dan masuk ke PB. Finarsih pun harus kos sejak kelas 1 SMP. Dia tak hanya berpisah dengan keluarga, tapi kadang mendapat cibiran dari tetangga desa.
“Latihan bulu tangkis pagi sore, itu yang dicari apa? Cibiran seperti itu malah membuat saya makin bersemangat meski saya tidak tahu untuk apa bermain bulu tangkis kecuali karena menyukainya saja,” kata Finarsih.
Kariernya mulai terentang saat Finarsih tampil di kejurnas junior di Surabaya pada 1983. Usai kejurnas, dia ditawari masuk Pusdiklat Ardath di Jember. Ayahnya sempat ragu karena harus melepas Finarsih yang masih berusia 11 tahun.
“Jadi, sepanjang perjalanan ke Jember, ayah hanya bisa menangis. Di Ardath, saya bertekad harus masuk pelatnas,” tandasnya.
Dipanggil BoimTarget pun tercapai. Saat usianya menginjak 15, Finarsih sudah dipanggil pelatnas. Proses yang relatif singkat. Hanya dalam waktu lima tahun sejak masuk pusdiklat, dia masuk pelatnas pratama. Finarsih pun beruntung mendapat sparring partner sekaligus diplonco para senior seperti Verawati Fajrin, Ivana Lie dan masih banyak lagi.
“Saat melihat para senior, saya dan yang lain hanya bisa terkagum-kagum. Siapa pun pasti menaruh respek pada mereka. Bagaimana tidak, semua adalah juara dunia,” tutur Finarsih, yang mendapat panggilan baru di pelatnas, Boim.
Gara-garanya, dia suka menggendong dan bermain-main dengan anjing di pelatnas Asia Afrika bernama Boing. “Kak Vera kemudian nyeletuk, ‘Ini Fina sukanya main ama Boing, ya udah dipanggil Boim saja’. Sejak itu, semua memanggil Boim. Lagi pula Kak Vera pun membawa nama itu saat latihan. Akhirnya semua pemain senior memanggil Boim. Yang junior saya ikut memanggil Mbak Boim,” ujarnya.
Selama delapan tahun di pelatnas, Finarsih menyabet berbagai gelar di ganda putri. Saat pasangannya, Lily, mengundurkan diri, dia masih sempat berpasangan dengan Susi Susanti. Terakhir, Finarsih bermain ganda campuran bersama Sandiarto dan sempat menjadi juara.
Menariknya, Finarsih memutuskan mundur menyusul Lily Tampi saat usianya masih 26.
“Saya sudah sulit juara lagi. Usia 26 bagi pemain putra memang masa keemasan, tapi bagi pemain putri itu sudah lewat masanya,” kata Finarsih.
Meninggalkan pelatnas, Finarsih kembali ke Yogyakarta. Dirinya membuka bisnis toko olah raga bersama suaminya dan mendirikan klub bulu tangkis. Dia pun lebih banyak aktif di Pengprov PBSI DIY dan KONI daerah.
Bisnis Adalah Kepercayaan
Pensiun sebagai pemain tak membuat Finarsih menjauh dari bulu tangkis. Dia memang sempat mendapat tawaran untuk melatih di pelatnas. Namun, tawaran itu ditolaknya.
“Saya menolak karena sedang merintis bisnis toko olah raga. Kalau melatih di Jakarta, saya tak bisa menanganinya secara langsung,” ungkap Finarsih.
Finarsih membuka bisnis toko olah raga mengikuti langkah rekan-rekannya seperti Harianto Arbi, pasangan Susy Susanti dan Alan Budikusuma, dan masih banyak lagi. Dia juga berhati-hati dengan berbagai tawaran yang mengajaknya bekerja sama.
“Saya memulai bisnis dengan modal sendiri. Meski kecil dan dimulai dari beberapa raket, saya bertekad mengelola sendiri. Saya juga tanya ke teman-teman di pelatnas dan Mas Broto dari BOLA. Dia banyak membantu saya,” tuturnya.
Dari toko kecil, usahanya makin berkembang besar. Dia juga harus membongkar garasi untuk memperluas gerai. Menurutnya, dia mengembangkan prinsip bahwa bisnis adalah kepercayaan.
“Yang terutama, semua bisa terjadi karena kuasa Tuhan. Bisnis adalah soal kepercayaan. Saya tidak pernah mengenal rekan bisnis di luar Jawa seperti di Papua, Kalimantan atau Lampung. Namun, kerja sama tetap berjalan baik karena percaya.” katanya.
Tokonya kini sudah berkembang, Finarsih tak bisa sendirian mengelolanya. Kini, karyawannya berjumlah sembilan orang. Mereka disediakan tempat tinggal di bagian belakang rumahnya.
“Biarlah mereka tidur dan makan di sini. Gratis. Jadi, gajinya tetap utuh,” katanya.
Penulis: Gonang Susatyo
DATA DIRI
Nama: Christina Finarsih
Tempat/Tanggal Lahir: Yogyakarta, 8 Februari 1972
Suami: B. Edu Suryantoro
Anak: Gabriella Acyntia Cantika (5)
Pekerjaan: Pengelola dan pemilik Toko Sport, pelatih bulu tangkis
Jabatan: Kabinpres Pengprov PBSI DIY KONI Sleman
PRESTASI
Belanda Terbuka (1993)
Grand Prix (1993)
Indonesia Terbuka (1993, 1994)
Taiwan Terbuka (1994)
Kejuaraan Dunia Bulu tangkis (1994, 1995)
Medali emas Asian Games 1996 (Eliza Nathanael)
Medali perak Kejuaraan Dunia IBF 1995 di Lausanne, Swiss. (Lily Tampi)
Olimpiade 1992 di Barcelona, Spanyol (perempat final)
Olimpiade 1996 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (16 besar)
Editor | : | |
Sumber | : | 28-29 Juli 2012, BOLA Edisi 2383/Sabtu-Minggu |
Komentar