Juventus tercecer jauh dalam persaingan memperebutkan scudetto pada musim ini. Koleksi lima dari kemungkinan maksimal 18 poin yang bisa diraih membuat klub berjulukan La Vecchia Signora alias Si Nyonya Tua itu mesti terperosok ke papan bawah klasemen sementara.
Peringkat 15 sudah tentu bukanlah habitat asli dari Juventus selaku pemegang predikat jawara Serie A selama empat musim terakhir. Akan tetapi, inkonsistensi permainan dalam enam pekan pembuka Serie A 2015/16 memaksa mereka harus menerima keadaan ini.
Berbagai macam masalah, mulai dari krisis kreasi serangan akibat kepergian tiga pemain senior, Andrea Pirlo, Carlos Tevez, dan Arturo Vidal, hingga cederanya sejumlah personel andalan, seperti Claudio Marchisio, Sami Khedira, dan Mario Mandzukic, disebut sebagai faktor utama kemunduran Juventus.
Belum lagi tingkat adaptasi para rekrutan baru semisal Juan Cuadrado, Hernanes, Paulo Dybala, dan Simone Zaza, yang terbilang lambat. Juga penerapan taktik bunglon oleh pelatih Massimiliano Allegri.
Serupa dengan musim lalu, Allegri memang gemar melakukan bongkar-pasang formasi selama enam pekan permulaan Serie A 2015/16. Pola 3-5-2, 4-3-1-2, serta 4-3-3 pernah ia gunakan dan komposisi pemain tak pernah sama di setiap pekan.
Namun, tanpa keberadaan jenderal lapangan tengah seperti Pirlo dan Marchisio, Juve seperti kehilangan akal saat mengalami kebuntuan di tengah pertandingan. Paul Pogba, yang diharapkan bisa melakoni peran nomor 10, kenyataan nya malah melempem.
Perubahan formasi yang rutin dilakukan Allegri barangkali juga bertujuan untuk mencari racikan yang paling pas bagi Juve sepeninggal Pirlo, Tevez, dan Vidal. Hanya, iktikad sang pelatih justru membuat Juve seolah kehilangan identitas.
Tren Negatif Allegri
Keterpurukan Juve boleh jadi berkaitan dengan persoalan rutin yang selalu melanda Allegri setiap menukangi klub Serie A. Pelatih berusia 48 tahun itu memiliki kecenderungan menurunkan peringkat tim asuhannya pada musim kedua.
Situasi serupa pernah dialami Allegri sewaktu menukangi Cagliari (2008-2010) dan Milan (2011-2014). Musim pertamanya menjabat pelatih di kedua klub tersebut berjalan mulus dan bisa dikatakan sukses.
Sewaktu mengarsiteki Cagliari, Allegri mengantar klub kebanggaan masyarakat Pulau Sardinia itu bersaing di 10 besar. Kerja kerasnya bahkan berbuah penghargaan Panchina d’Oro atau Pelatih Terbaik Serie A pada pengujung 2008/09.
Catatan lebih mentereng tercipta saat ia menerima tawaran melatih Milan per 25 Juni 2010. Allegri langsung mempersembahkan scudetto, mirip dengan apa yang telah dia lakukan di Juve pada musim lalu.
Memasuki musim kedua, Allegri seperti mengalami kesulitan mengulangi prestasi terdahulu. Cagliari mesti turun tiga peringkat di ujung kompetisi. Demikian pula Milan, yang harus merelakan scudetto melayang ke tangan Juve.
Lantas, bagaimana dengan musim kedua Allegri di Juve? Belum ada kepastian bahwa ia bakal menemui kegagalan dalam mempertahankan scudetto mengingat kompetisi baru saja bergulir enam pekan sehingga masih ada banyak kesempatan buat bangkit.
Satu hal yang pasti ialah start Allegri bareng Juve pada musim kedua lebih buruk dibandingkan saat melatih Cagliari dan Milan sehingga ia perlu bekerja ekstra keras jika ingin mengembalikan Si Nyonya Tua ke papan atas.
Penulis: Indra Citra Sena
Editor | : | |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.634 |
Komentar