19 digelar. Dua tahun atau lebih tepatnya 23 bulan lalu dalam ajang yang sama, Indonesia tampil heroik untuk menjadi pemenang.
Selasa, 22 September 2013. Papan skor di Stadion Delta Sidoarjo masih menunjukkan angka 0-0 hingga akhir babak tambahan. Puluhan ribu penonton menyeka keringat, berharap cemas, apakah dapat menjadi saksi mata peluh keringat anak bangsa berjuang menghapus rekor buruk sepak bola Indonesia.
Skor sementara adu penalti 6-6. Dua eksekutor Indonesia, Evan Dimas Darmono dan Zulfiandi gagal. Demikian halnya dengan tiga penendang penalti Vietnam, Tran Huu Dong Trieu, Nguyen Tuan Anh, dan Pham Duc Huy. Jika penendang terakhir bisa menceploskan bola, Indonesia juara!
Dari tengah lapangan, Ilham Udin Armaiyn melangkah menuju kotak penalti. Beberapa kali ia mengusap keringat dengan seragam berlambang garuda di dada. Matanya waswas ketika memandang bola di atas titik putih. Mata yang terkesan menyimpan harapan, sekaligus kekhawatiran.
Ilham mundur tujuh langkah. Ia lalu berlari ke arah bola dan melepaskan tendangan kaki kiri. "Jebret!! Jebret!! Jebret!! Gol!! Gol!! Goooll!!" Demikian teriak komentator ketika menyaksikan bola tendangan Ilham masuk ke pojok kiri gawang Vietnam tanpa mampu dihalau kiper Le Van Truong.
Sontak histeria ribuan pendukung Garuda Jaya yang memadati stadion serta jutaan penonton televisi nasional tumpah ruah. Publik bola bergetar karena para pemain tim nasional U-19 sukses meraih prestasi yang selama hampir dua dasawarsa hilang dari pangkuan Ibu Pertiwi.
Ilham lantas lari ke pinggir lapangan, kemudian memeluk rekan-rekannya. Pelukan itu adalah bagian dari jawaban atas doa ratusan juta masyarakat Indonesia. Pelukan yang juga menandakan keyakinan Ilham serta publik sepak bola bahwa inilah saatnya Indonesia bicara di pentas Asia.
2015
Dua tahun lalu, aksi Ilham dan kawan-kawan itu mengubah peta kekuatan sepak bola usia muda di Asia Tenggara. Tak akan orang lupa juga betapa indah gerakan Ilham, Evan Dimas, dan Maldini Pali, ketika menaklukkan Korea Selatan pada kualifikasi Piala Asia 2014 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta.
Mereka bermain dengan riang gembira. Mereka membelai bola dengan indah, menggiringnya, lalu tiga kali mampu memaksa kiper Korsel, Lee Taehui terperangah sembari memungut bola dari gawang sendiri. Namun, apa mau dikata, itulah terakhir kita menyaksikan permainan menawan mereka.
Maklum, entah apa yang ada di dalam pikiran para pengurus PSSI ketika memutuskan menggelar Tur Nusantara dengan lebih dari 40 laga uji coba yang dianggap sebagai persiapan "ideal" Piala Asia. Alhasil, mereka gagal total dan faktor kelelahan dari berbagai uji coba itu dianggap sebagai salah satu penyebab utama.
Kali ini, kondisinya tidak jauh berbeda. Bahkan, lebih parah karena Indonesia tidak dapat berpartisipasi di sejumlah turnamen internasional lantaran adanya sanksi FIFA. Federasi sepak bola dunia itu menganggap adanya intervensi pemerintah ketika membekukan PSSI.
Keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi ketika membekukan PSSI memang memunculkan pro-kontra dalam masyarakat. Pro untuk yang menginginkan pembenahan total dalam struktur kepengurusan PSSI, kontra bagi para jutaan pemain, termasuk talenta muda, yang menggantungkan hidupnya terhadap sepak bola.
Namun, setelah empat bulan sanksi itu dikeluarkan, rasanya publik belum melihat hasil dan jalan keluar positif untuk membenahi sepak bola Indonesia. Justru tampaknya unsur politis makin terlihat kental ketika hukum dijadikan pelindung dalam penyelesaian konflik antara PSSI dan Menpora.
Sejak awal publik menanti blueprint pembenahan yang dijanjikan Menpora. Namun, apakah konsep itu hanya mencakup pembentukan kompetisi baru saja? Apakah dengan adanya kompetisi baru itu penyakit lama sepak bola Indonesia, seperti pertikaian serta kericuhan di dalam lapangan, bisa teratasi?
Ah, sudahlah. Toh, sejarah membuktikan, jika masih terus diwarnai pertikaian, konflik, serta rasa tidak saling peduli, sepak bola Indonesia akan terus dipenuhi ketidakpastian, intrik, dan rivalitas bersambung-sambungan. Jika sudah begitu, jelaslah para pemain yang akan selalu menjadi korban.
Kompromi
Oleh karena itu, pemerintah dan PSSI harus berkompromi agar berbagai ketidakpastian sepak bola Indonesia dapat segera terselesaikan. Belum bosankan kita menyaksikan konflik yang tidak jelas arahnya? Belum bosankah juga kita menyaksikan pertikaian selalu terjadi di lapangan sepak bola?
Piala AFF U-19 2015 hari ini kembali digelar. Indonesia pun tidak dapat berpartisipasi lantaran adanya sanksi FIFA. Sampai kapan kita terus berada di dalam kondisi seperti ini, sementara negara-negara Asia Tenggara lain sudah saling berlomba meningkatkan prestasi. Sejumlah pertanyaan itu kini hanya dapat dijawab oleh para pengurus, pemerintah, serta pemangku kepentingan sepak bola dalam negeri.
Toh, kalau mereka menghargai sejarah, benang kusut sepak bola Indonesia sejak lama pasti bisa sedikit terurai. Jika tidak, siap-siap saja kita terus merasakan pengulangan sejarah pertikaian dan konflik balas dendam yang kerap terjadi di dalam dunia sepak bola Indonesia seperti yang sudah terjadi beberapa tahun lalu.
Kesuksesan Evan Dimas dan kawan-kawan berpesta di podium kemenangan kini hanya tinggal kenangan. Perlu berapa tahun lagi kita dapat menyaksikan momen seperti itu jika kondisi sepak bola Indonesia terus tidak menentu? Apa perlu pertanyaan ini semua dijawab dengan sikap "kepala batu"? Semoga saja di balik memori indah sepak bola dua tahun lalu itu, mereka tidak keasyikan untuk terus berseteru...
"Semakin jauh Anda dapat melihat ke belakang, semakin jauh Anda bisa melihat ke depan." - Winston Churcill.
Tulisan ini menampilkan opini pribadi dari wartawan Juara.net, Ary Wibowo. Penulis bisa dihubungi lewat Twitter @iLhoo
Editor | : | Ary Wibowo |
Sumber | : | juara.net |
Komentar