Sebagai mantan atlet yang kini berstatus pelatih nasional, Arief mengaku terobsesi melahirkan karateka yang bisa berprestasi lebih baik darinya.
"Jadi peraih emas pertama Indonesia di AG memang membanggakan. Akan tetapi, saya lebih bangga kalau bisa melahirkan karateka yang bisa menjaga tradisi emas Indonesia di AG dan menjadi juara dunia," papar Arief, yang tercatat menangani pelatnas sejak 2011.
Karena itu, meski disibukkan oleh jadwal padat di kantornya, Bank Mandiri Wilayah Makassar, Arief selalu menyempatkan diri melatih anak asuhnya minimal tiga kali sepekan di dojo karate dekat kantornya.
"Apalagi, persaingan karateka di Tanah Air lebih merata. Fasilitas pendukung pun jauh lebih baik dibandingkan ketika saya masih menjadi atlet," ujarnya.
Dia merujuk fakta yang terjadi di Sulsel misalnya. Meski menjadi juara umum karate di PON 2012, belakangan karateka Sulsel tidak lagi dominan.
Khususnya di nomor kumite, di mana Sulsel pernah melahirkan karateka petarung seperti Ellong Tjandra, Djafar Djantang, Saleh Al Habsy, Verus Bilalu, Sudirman, dan Sumarto.
"Saat ini, praktis hanya Hendro Salim yang prestasinya terbilang stabil di level nasional," katanya.
Di lingkup keluarga kecilnya, meski punya obsesi besar melahirkan karateka andal, Arief mengaku tetap memberikan kebebasan kepada ketiga anaknya untuk memilih aktivitas yang mereka sukai.
"Sepanjang tujuannya positif untuk masa depan, saya dan istri sudah berkomitmen untuk memberi perhatian lebih untuk mendorong mereka agar bisa meraih hasil terbaik sesuai pilihannya," jelas Arief.
Sikap dan komitmen ini yang dia tunjukkan ke anak pertamanya, Moch. Alif Tausar Syamsuddin (13), yang juga mulai menggeluti karate sejak SD.
Editor | : | |
Sumber | : | Harian BOLA 14 Agustus 2015 |
Komentar