Lee Chong Wei merupakan salah satu legenda hidup bulu tangkis sepanjang masa. Meski belum pernah menjadi Juara Dunia dan meraih medali emas Olimpiade, kharisma pemain tunggal putra Malaysia ini sulit untuk disamai.
Lee merupakan salah satu legenda yang dirangkul Yonex untuk mempromosikan program The Legends' Vision, bersama Taufik Hidayat (Indonesia), Lin Dan (Tiongkok), dan Peter Gade (Denmark).
"Saya senang diajak Yonex untuk ikut program ini. Di lapangan, kami memang rival, tetapi di luar lapangan kami teman baik," kata Lee saat hadir pada The Legends Vision seri Jakarta, Senin (17/8/2015).
The Legends Vision digelar di empat negara tempat asal sang legenda. Mei lalu, acara ini digelar di Beijing, Tiongkok. Setelah Indonesia, para legenda ini akan hadir di Kopenhagen, Denmark, pada Oktober, lalu terakhir di Kuala Lumpur, Malaysia, pada Desember.
Seperti ketiga legenda yang lain, Lee juga punya visi dan mimpi membawa bulu tangkis menjadi olahraga yang lebih dikenal dunia. Hingga saat ini, bulu tangkis memang masih terpusat di Asia dan beberapa negara Eropa.
"Saya ingin bulu tangkis bisa seperti tenis, bisa dikenal banyak negara. Suatu saat saya ingin pergi ke negara-negara kecil untuk mempromosikan bulu tangkis," aku pemain 32 tahun tersebut.
Menurut Lee, posisi olahraga bulu tangkis di Indonesia dan Malaysia hampir sama, dengan jumlah penggemar yang luar biasa.
"Di Malaysia sama dengan di Indoensia, bulu tangkis jadi olahraga nomor satu. Mungkin karena di negara kami prestasi sepak bola tidak bisa mendunia, sementara bulu tangkis sampai ke tingkat dunia," kata ayah dua anak tersebut.
Dengan usia yang tak lagi muda, Lee memang sudah mendekati masa pensiun. Dia masih punya satu target besar yakni meraih medali emas pada Olimpiade Rio 2016.
"Tahun depan, persaingan akan sangat ketat karena semua pemain bersaing untuk berebut poin demi bisa ikut Olimpiade. Saya harus punya persiapan yang bagus dan jangan sampai cedera," tegasnya.
Lee sudah empat kali lolos ke final Kejuaraan Dunia, tetapi tak pernah berakhir dengan kemenangan. Begitu juga di Olimpiade. Dua kali ke final, dua kali pula dia pulang dengan membawa medali perak.
Dari enam kali kegagalan di turnamen besar tersebut, Lee mengaku kekalahan di Kejuaraan Dunia 2011 dan Olimpiade 2012 sebagai yang paling menyakitkan. "Dua-duanya terjadi di London (Inggris)," kata Lee sambil tersenyum.
Jika nanti pada Olimpiade 2016 Lee kembali gagal meraih medali emas, dan setelah itu pensiun, apakah akan ada penyesalan? "Tidak apa-apa. Saya terima," akunya.
Editor | : | Pipit Puspita Rini |
Sumber | : |
Komentar