an. Mereka menjadi tulang punggung selama satu musim Niac ketika menjadi juara Galatama 1982-1983.
“Fandi datang ke Niac ketika berusia sekitar 18 tahun. Meski masih muda, dia sudah punya kebiasaan yang bagus. Sikapnya profesional, giat, tekun, dan mau menambah jam latihan sendiri,” ujar Rudy. “Rudy orang baik. Meski wajahnya sangar, dia kerap melucu. Saya panggil dia Socrates,” komentar Fandi.
Menurut Rudy, pada masa awal bersama Niac, Fandi agak sulit beradaptasi. Sebagai pemain muda, Fandi agak kaget dengan sepakbola keras di Indonesia
“Saya bilang sepakbola Indonesia main kayu. Harus cerdik supaya tak dijadikan sasaran tebas,” ucap Rudy, yang saat itu berposisi sebagai gelandang.
Pekerja Keras
Lantaran masih beradaptasi, Fandi sulit mencetak gol. Di putaran pertama produktivitas golnya seret. Akibatnya, A. Wenas, pemilik Niac Mitra, sempat berencana memulangkan Fandi.
“Beberapa pemain senior, termasuk saya, minta supaya Fandi tetap dipertahankan karena ia pemain bagus. Pemain lain juga sepakat untuk memberi dukungan. Hasilnya di putaran kedua ia cetak banyak gol dan Niac jadi juara,” ujar Rudy.
Ketika sudah sama-sama melatih, Fandi mengungguli Rudy dalam dua kali pertemuan. Rudy memuji perilaku Fandi yang dinilai tak berubah.
“Tak heran kalau tim yang dilatih Fandi menjadi tim bagus. Orangnya memang pekerja keras. Sekarang kalau bertemu juga kita saling respek,” ujar Rudy. Bahkan Rudy merasa Fandi pantas jika suatu saat bakal melatih timnas, entah Singapura atau Indonesia.
“Pantas juga kalau dia melatih timnas. Tapi, mungkin Fandi harus mengawali kariernya dari nol, seperti sekarang ini melatih klub,” ucap Rudy.
(Penulis: Erwin Fitriansyah)
Editor | : | Caesar Sardi |
Sumber | : | BOLA Edisi No. 1.784, Selasa 18 Desember 2007 |
Komentar