lawannya dengan angka meyakinkan. Mengalahkan Denmark 8-1 (1949), AS 7-2 (1952), dan Denmark 8-1 (1955).
Setelah Indonesia merebut Piala Thomas di Singapura, 1958, Malaya yang kemudian menjadi Malaysia masih coba unjuk gigi ketika kejuaraan berlangsung di Jakarta, 1967. Generasi Wong Peng Soon telah digantikan Tak Aik Huang dan kawan-kawan. Malaysia mampu merebut lambang supremasi itu dari tangan Indonesia, meskipun melalui keuntungan non-teknis.
Kebesaran yang pernah dimiliki negara semenanjung itu ternyata tak mampu dipertahankan generasi pemain sesudah Tan Aik Huang dan Punch Gunalan. Sejak 1970 sampai 1984 Piala Thomas tak pernah lagi bersemayam di Kuala Lumpur.
Generasi pemain angkatan Misbun Sidek tak berdaya menghadapi persaingan prestasi yang semakin menajam dalam arena perebutan lambang supremasi dunia itu. Selain Indonesia, ada RRC, dan Denmark yang tampil dengan tim tangguh dan melebihi kebolehan pemain-pemain Malaysia.
Bencana buat Malaysia itu akan dialami negara mana pun, dalam cabang olahraga apapun. Dan musibah ini sudah melanda kita karena terlambatnya melakukan regenerasi atlet pada cabang sepakbola, renang, dan tinju, misalnya.
Tim sepakbola kita tak mampu mengulangi kejayaan zaman Ramang, Sutjipto, dan angkatannya. Dunia renang Indonesia tak lagi bersinar terang akibat belum munculnya pengganti Naniek Suryaatmadja dan Kristiono Sumono. Begitu pula pada cabang olahraga tinju, setelah Wiem Gomies, Ferry Moniaga, Frans V.B., dan Syamsul Anwar menggantungkan sarung kepalannya.
Situasi kelabu ini terjadi akibat kelalaian melakukan regenerasi. Para pembina lupa mengalihkan prestasi yang dimiliki atlet-atlet senior kepada mereka yang yunior. Di sini terjadi kesenjangan prestasi antar generasi.
Celakanya lagi, biasanya kita baru sadar setelah menerima suatu kenyataan pahit yang berupa kekalahan atau kegagalan. Prestasi sepertinya telah membuat orang bermimpi dan melupakan kenyataan dan tantangan yang menghadang.
Kenyataan, prestasi seorang atlet tak akan abadi. Sebab negara-negara lain pun tak tinggal diam membiarkan keberhasilan dan kegemilangan atlet Indonesia. Faktor usia atlet yang makin menua juga begitu absolut menentukan prestasi seorang olahragawan.
Regenerasi di sini bukanlah sekedar menggantikan yang tua dengan yang lebih muda. Tapi bagaimana supaya generasi pengganti itu minimal menyamai prestasi para seniornya.
Pelajaran pahit yang kita peroleh dari sepakbola, renang, dan tinju hendaknya tak terulang pada cabang olahraga yang merupakan ujung tombak prestasi olahraga Indonesia, bulutangkis.
Peringatan semacam ini perlu dilontarkan mengingat prestasi pemain-pemain bulutangkis kita akhir-akhir ini semakin mendebarkan jantung. Padahal generasi Liem Swie King masih aktif bermain mendampingi pemain-pemain berikutnya dan jelas kita tak menghendaki tragedi yang menimpa Malaysia terulang di sini.
Ini berarti PBSI perlu kerja ekstra untuk mencegah bencana itu. Dan ungkapan "kerbau punya susu, sapi punya nama" harus segera dihentikan melalui program pembinaan yang lebih mantap dan terarah dalam mempersiapkan generasi pemain baru yang tangguh.
Kesatuan sikap para pembina ikut pula menentukan untuk mempersiapkan pemain-pemain tangguh dalam menghadapi persaingan prestasi yang semakin tajam di dunia bulutangkis. Dan adalah bencana besar bila kita hanya mengharapkan kemurahan alam: lahirnya pemain muda berprestasi dengan semata-mata mengandalkan bakat.
(Penulis: Sam Lantang, Tabloid BOLA Edisi Nomer 54, Jumat 8 Maret 1985)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar