Bola basket perempuan itu seperti udara. Tak bisa dilihat dengan kasat mata, namun bisa dirasakan sepanjang manusia masih bernyawa. Bola basket perempuan itu cenderung diabaikan di seluruh penjuru dunia, namun memegang peranan penting dalam regenerasi bola basket dunia.
Bola basket perempuan tak bisa dilepaskan dari sejarah diskriminasi perempuan dalam olah raga. Dalam kesetaraan gender, wanita memang lebih dibatasi dalam berolah raga hampir di semua belahan bumi. Tengoklah fakta-fakta yang diedit Ilse Hartmann-Tews dan Gertrud Pfister dalam sebuah buku bagus berjudul 'Sport and Women: Social Issues in International Perspective'.
Buku itu mengkaji sejarah dan perkembangan olah raga untuk perempuan di beberapa negara seperti Norwegia, Inggris Raya, Jerman, Prancis, Spanyol, Rep. Ceska, Tanzania, Afrika Selatan, AS, Kanada, Brasil, Kolombia, Iran, Tiongkok, Jepang, dan Selandia Baru. Banyak ragam fakta yang terpapar.
Di Brasil misalnya. Negeri penghasil pebola voli hebat dan cantik-cantik ini ternyata sampai tahun 1940-an sama sekali melarang wanita berolah raga. Aktivitas olah raga masih dilarang di sana sampai tahun 1960-70an.
Atau di Inggris, yang memisahkan olah raga untuk wanita bangsawan atau kaum proletar. Tenis itu olah raga milik bangsawan maka harus dimainkan dengan anggun, sopan, dan penuh aturan. Berbeda dengan Selandia Baru dan Norwegia yang mengizinkan hoki dan bola tangan sebagai representasi perempuan sehat.
Makin kuatnya dorongan kesetaraan gender, membuat olah raga akhirnya boleh dimainkan siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin. Komite Olimpiade Internasional (IOC) menegaskan itu dalam salah satu butir Olympic Charter. Benarkah setelah era itu wanita lebih dipandang dalam percaturan olah raga?
Michael A. Messner, seorang profesor sosiologi yang mendalami studi gender di University of Southern California (USC), meneliti bahwa media lebih suka meliput dan menayangkan olah raga pria daripada perempuan. Ini beberapa data temuannya.
"Pada turnamen bola basket mahasiswa tertinggi NCAA, March Madness 2009, tiga jaringan televisi di California menayangkan 60 liputan bola basket pria. Berapakah untuk wanita? Nol, alias tidak ada."
"ESPN SportsCenter menayangkan empat tayangan bola basket perempuan saat itu dengan total waktu 1:12 alias 1 menit 12 detik dalam waktu dua pekan. Dalam waktu yang sama, ESPN SportsCenter menayangkan 40 liputan basket NCAA pria dengan total waktu 1:37! Bukan 1 menit 37 detik lho melainkan 1 jam 37 menit!
Harus diakui memang ada perbedaan antara bola basket perempuan dengan pria. Yang paling mencolok adalah ukuran bola. Pria memakai bola nomor 7 sedangkan perempuan 6. Juga dengan cara bermain. Pria cenderung mengeksplorasi jiwa maskulin-nya dengan gerakan eksplosif dan akrobatik. Pria bertanya dan langsung menjawab, nice dan simpel.
Bagaimana dengan bola basket perempuan? Inilah yang membedakan dengan pria. Ibaratnya sebuah kejadian, perempuan akan bertanya, menjawab, dan menganalisisnya. Konsep bermain itu perlu waktu lebih lama sehingga pertandingan basket perempuan terlihat lebih lambat. Padahal, selain ukuran bola dan konsep bermain itu, latihan pria dan perempuan sama saja lho kerasnya.
Pembaca yang budiman, dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun karier jurnalistik olah raga saya dan kesempatan menonton langsung berbagai jenis pertandingan bola basket wanita hampir di seluruh belahan bumi, basket wanita itu memang cenderung analitis dan hampir semuanya text book. Sedangkan basket pria, cenderung meledak dan berani keluar dari sekat-sekat pembatas.
Lantas, apakah wanita harus mengubah cara bermain, agar penonton dan sponsor datang sehingga bola basket perempuan, termasuk Speedy WNBL Indonesia, semakin berkembang?
Perempuan itu Lebih Cerdas
Sebelum berencana mengubah konsep bermain perempuan, ada baiknya menelaah beberapa data kuantitatif yang saya miliki.
Di WNBA, 90% pemainnya adalah sarjana dan lulus dengan nilai bagus sesuai standar. Menurut mantan pebasket nasional putri Indonesia yang pernah bermain di NCAA membela universitas Weber State, Theresna Ninon Salemon, ia dituntut memenuhi standar akademik tertentu agar beasiswa terus mengucur. Jadi perempuan yang pebasket NCAA, pasti pintar.
Pebasket WNBA, berpikir seribu kali sebelum memutuskan mengikuti Draft yang berarti meninggalkan kampus untuk menjadi profesional. Mereka cenderung menunggu kuliah tuntas, baru ikut draft WNBA. Jadi, jangan heran jika pebasket WNBA memiliki prestasi akademik lebih bagus daripada pemain NBA.
Saya punya hipotesis, pebasket Speedy WNBL Indonesia yang dulunya student athlete di liga SMA, DBL Indonesia, cenderung memiliki nilai akademik lebih bagus dibandingkan para pebasket putra Speedy NBL Indonesia. Hanya sedikit pebasket putri yang cenderung acuh pada nilai akademisnya.
Dua tahun lalu, saya ditugasi memahami pasar media digital dibandingkan media konvensional (cetak). Hasilnya, ternyata perempuan masa kini sangat melek pada gadget, lho.
Temuan pertama, perempuan matang dan ibu muda, ternyata menghabiskan waktu tiga kali lebih banyak untuk online daripada nonton televisi. Mereka browsing 81% berita on line, 74% mendengarkan musik, dan 44% nonton video. Ini masukan untuk WNBL, agar perempuan banyak nonton Speedy WNBL Indonesia, manfaatkanlah channel untuk memperbanyak news on line dan video. Kalau mereka puas dan banyak nonton NBL dan WNBL, mereka akan ngoceh tanpa diperintah di gruppies atau komunitas masing-masing.
Temuan kedua, perempuan zaman sekarang ternyata menyikapi media sosial dengan lebih cerdas. Mereka juga suka opininya diketahui publik lewat sosial media. Artinya, mereka selalu ingin sharing pengalaman bermain bola basket di Speedy WNBL Indonesia di grup atau komunitas sosial. Perempuan itu adalah biang dari salah satu alat komunikasi paling ampuh yakni komunikasi dari mulut ke mulut (power of tongue).
Temuan ketiga, suatu saat, perempuan itu bisa menjadi seorang ibu dan akan memilihkan sang anak kegiatan olah raga dan bola basket sebagai pilihan pertama. Sebab, ternyata perempuan menempatkan kesehatan, nutrisi, dan medical sebagai pilihan pertama untuk dibrowsing (91%). Ketika disurvei, perempuan menggunakan 82% waktunya di mesin pencari (search engine) saat browsing dalam seminggu terakhir. Yang mereka browsing 78% adalah pendidikan anak, 77% kesehatan, serta 75% ekstrakurikuler untuk anak.
Ketika WNBL diluncurkan PT DBL Indonesia beberapa waktu lalu, setelah kompetisi bola basket tertinggi putri Kobanita mati suri, saya berikan empat jempol (2 tangan 2 kaki) untuk keberanian melakukan kegiatan 'merugi' itu. Bayangkanlah jika WNBL tidak ada, akan dikemanakan pebasket perempuan produk kompetisi kelompok umur yang rajin aktif digelar oleh daerah-daerah sejak KU-14 sampai KU-18. Juga akan dikemanakan DBL dan Jr. DBL yang memiliki pebasket putri.
Bisa-bisa perempuan yang kecewa itu akan mengatakan kepada anak sendiri, atau ke keponakan, tak usahlah bermain bola basket lagi. Tak ada jenjang yang jelas sebab basket putri dijadikan anak tiri. Masa depan bola basket perempuan dipastikan kehilangan cahaya.
Memang dari segi finansial, sepintas mengurus bola basket putri dan membuat kompetisi putri itu 'merugi'. Namun jika sudut pandang kita dibuat lebih lebar, dengan mundur 2-3 langkah agar sudut pandang melebar, ternyata dengan menghidupkan bola basket perempuan itu adalah tindakan mulia sebab menyelamatkan keberadaan bola basket sendiri.
Logikanya, jika di dunia tidak ada wanita, tak akan ada bayi lahir, tak akan muncul generasi penerus. Jika tidak ada perempuan pebasket, tak akan ada pebasket hebat sekelas Kobe Bryant, LeBron James, atau Kevin Durant sekaligus.
Jadi, bola basket perempuan itu seperti udara. Tak bisa dilihat bentuknya dengan kasat mata, namun bisa dirasakan sepanjang manusia masih bernyawa.
Editor | : | Eko Widodo |
Sumber | : | - |
Komentar