putih di babak awal turnamen tahun ini semakin menambah panjang catatan buruk keikutsertaan mereka, sejak terakhir kali Hariyanto Arbi membawa pulang trofi juara di tahun 1994.
Saat itu, pria pemilik smash 100 watt tersebut meraih gelar keduanya secara beruntun setelah menyudahi perlawanan rekan senegaranya, Ardy Wiranata, dua gim langsung (15-12 dan 17-14). Sebelumnya, Hari juga memenangi gelar yang sama di tahun 1993 mengalahkan seniornya, Joko Suprianto (15-7, 4-15, dan 15-11).
Sepanjang penyelenggaraan All England, sejumlah atlet tunggal putra Indonesia memang seringkali menjadi yang terbaik. Akhir dekade 60-an hingga awal 90-an menjadi periode emas pebulutangkis putra Tanah Air di turnamen tertua di dunia ini.
Tercatat Indonesia berhasil merebut 14 gelar juara melalui empat pemain berbeda, yakni Rudy Hartono (8), Liem Swie King (3), Ardy Wiranata (1), dan Hariyanto Arbi (2). Bahkan, catatan Rudi Hartono menjadi rekor tertinggi yang belum bisa dipecahkan maupun disamai oleh pebulutangkis tunggal putra lain.
Pencapaian di atas belum termasuk empat pemain Merah-Putih lain yang menembus partai final sebelum dikalahkan oleh koleganya sendiri. Mereka adalah Darmadi (1969 vs Rudy Hartono), Muljadi (1971 vs Rudy Hartono), Christian Hadinata (1973 vs Rudy Hartono), dan Joko Suprianto (1993 vs Hariyanto Arbi).
Satu pemain lain, Icuk Sugiarto, juga berhasil mencapai final tahun 1987, namun gagal juara karena dikandaskan oleh pemain Denmark, Morten Frost dengan dua gim langsung (15-10 dan 15-0). Setelah periode emas tersebut, prestasi Indonesia hanya sebatas runner up, yakni tahun 1999, 2000 (Taufik Hidayat), dan 2002 (Budi Santoso).
Gelar juara pun dikuasai oleh Cina selama dua dekade terakhir, dan Malaysia selama lima tahun terakhir. Para pemain Indonesia hanya bisa duduk manis di tribun penonton menyaksikan wakil dari dua negara di atas bertarung memperebutkan tempat tertinggi, termasuk pada penyelenggaraan tahun ini.
Laporan: Indra Citra Sena
Editor | : | Bolanews |
Komentar