sisa Piala Dunia. Tapi pasti bukan ampas. Malah boleh jadi akan menjadi salah satu topik utama dalam buku-buku tentang Piala Dunia Meksiko. Atau lebih khusus lagi, tentang final Piala Dunia 86 itu.
Kami sedang dalam mobil untuk menghadiri undangan makan malam di rumah seorang staf KBRI di Meksiko. Bersama saya adalah Iswadi Idris, pelatih Perkesa 78 yang kini jadi kolumnis koran Jawa Pas Surabaya, dan Jeffrey Low, editor olahraga Sunday Times Singapura.
Hari itu tanggal 28 Juni, sehari sebelum final Argentina melawan Jerman Barat berlangsung di Stadion Azteca. Jadi pembicaraan kami tentu saja lebih banyak mengenai kemungkinan-kemungkinan di sekitar pertandingan final itu. Salah satunya tentu tentang Maradona, bintang kejora Argentina yang telah begitu memukau penonton maupun pmain-pemain lawan.
Memang, gol pertamanya dalam perempat final melawan Inggris kontroversial. Tapi kiper Peter Shilton pun kemudian hanya bisa mengelus-elus kepalanya ketika Maradona mencetak gol kedua dengan solo run dari garis tengah yang menaklukkan enam pemain sekaligus.
Dalam semifinal melawan Belgia, giliran kiper Jean Marie Pfaff yang dibikin geleng-geleng kepala. Betapa tidak, Maradona memborong kedua golnya dengan cara yang nampaknya memang hanya dia bisa melakukannya. Daya akselerasinya begitu kuat, bola pun bagai menempel di kakinya. Bahkan ketika bek veteran Eric Gerets mencoba menghalangi dengan tangannya, gerakan lincah Maradona seperti tak terpengaruh.
Seusai pertandingan itu, yang mungkin tidak nampak di layar TVRI, kiper Pfaff tak malu-malu lari ke arah Maradona. Dengan penuh rasa kagum ia memeluk dan mencium pipi Maradona, kemudian minta saling tukar kostum di depan mata puluhan ribu penonton Azteca.
Mathaus
Maka dalam mobil malam itu timbul pertanyaan, siapakah yang akan ditugaskan Beckenbauer mengawal Maradona?
bersambung
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 125, 18 Juli 1986)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar