Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers

Pesta Untuk Maradona Dan Argentina (3)

By Caesar Sardi - Senin, 10 Maret 2014 | 18:55 WIB
Diego Armando Maradona, sang superstar.
Dok. Mingguan BOLA
Diego Armando Maradona, sang superstar.

Merombak tradisi memang tidak mudah. Sama sulitnya dengan membuat sejarah. Maka, final Piala Dunia 86 di Stadion Azteca Meksiko hari Minggu lalu hanya merupakan lanjutan dari tradisi Piala Dunia sejak 1930: tidak satu pun tim dari benua lain yang mampu merebut gelar di benua Amerika.

Sukses Argentina ini - merebut Piala Dunia untuk kedua kalinya setelah pasukan Menotti di tahun 1978 - tentu saja tak lepas dari kejelian manajer pelatih Carlos Bilardo menyusun strateginya. Mereka membiarkan Jerbar lebih menyerang dan kemudian menyerang balik pada saat yang tepat dengan mengandalkan kecepatan dan kekompakan kerjasama Maradona, Jorge Luis Burruchaga, Enrique, dan Valdano.

Jerbar juga tidak bisa dianggap telah masuk perangkap tanpa sadar. Mereka juga telah siap dengan pertahanan mundur (retreating defense) yang lumayan lewat Hans Peter Briegel dan kawan-kawannya. Tapi, kiper Schumacher, berbeda jauh dari enam penampilan sebelumnya. Kali ini ia memberi kesan kurang konsentrasi, sekaligus terlampau yakin akan kemampuannya. Dialah yang paling patut disalahkan untuk terjadlnya tiga gol ke gawang Jerbar.

Tapi manajer Franz Beckenbauer juga boleh disalahkan, kalau istilah itu tepat. Setidaknya, bekas bintang Piala Dunia 74 ini malah mengorbankan Mathaeus, gelandang yang agresif dan pintar, untuk lebih berkonsentrasi mematikan gerakan Maradona. Akibatnya, daya serang Jerbar di babak pertama tak sehebat di babak kedua ketika Mathaeus kembali pada fungsi utamanya sebagai gelandang menyerang, dan tugas menghambat gerakan Maradona diserahkan kepada bek tengah Karl Heinz Foester.

Keberuntungan Jerbar

Sejarah berulang, tradisi berlanjut. Argentina mewakili benua Amerika untuk merebut Piala Dunia yang untuk keenam kalinya diadakan di benuanya sendiri. Dan, Jerbar yang di tahun 54 dan 74 merebut gelar di Eropa, kini untuk kedua kalinya pula gagal di final secara berturut-turut.

Tapi, Jerbar saat ini memang bukan sebuah tim yang pantas untuk mengalahkan semua saingannya dan merebut lambang supremasi sepakbola dunia. Kalau itu terjadi. citra sepakbola bisa menurun karena sebuah tim "tanpa striker", atau lebih tepat sebuah tim yang barisan penyerangnya tak sepenuhnya dalam kapasitas terbaiknya, menjadi yang terunggul.

Jerbar bahkan bisa disebut ditolong oleh keberuntungan ketika dalam perdelapan final mengalahkan Maroko dengan tendangan bebas Mathaeus pada menit terakhir, dan dalam perempat final menundukkan tuan rumah Meksiko melalui adu penalti.

Tapi itulah pula kekuatan Jerbar. Mereka memiliki kekuatan tersendiri untuk keluar dari tekanan yang terberat. Seperti juga ketika melawan Prancis di semi final, ketika superstar Platini bahkan ganti mereka buat frustrasi dengan serangan-serangan balik yang ditunjang semangat pantang menyerah.

Hanya ketika kesempatan lebih ada untuk memainkan sepakbola terbuka, terasalah kelemahan mereka secara obyektif, meski Rummenigge dan Voeller masih mampu menandukkan kepalanya untuk menyudahi kemelut setelah tendangan penjuru.

bersambung

(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 123, 4 Juli 1986)


Editor : Caesar Sardi


Komentar

Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

YANG LAINNYA

SELANJUTNYA INDEX BERITA

Close Ads X