Seberapa rumit menciptakan kompetisi dan sepak bola yang rapi seperti J. League? Bagaimanapun strateginya, rasanya hanya satu elemen yang paling mendasarinya: watak baik.
Tidak ada yang luar biasa di Jepang. Tidak ada. Gunung Fuji mereka rasanya bisa kita tandingi dengan banyak gunung di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Jalur kereta yang mereka miliki juga sebenarnya bukan hal yang musykil untuk kita buat. Kerja keras dan kedisiplinan juga bukan hal yang mustahil untuk kita tiru. Syarat untuk mewujudkan itu semua cuma satu: watak baik.
Perhatikanlah orang-orang Jepun itu. Semua orang mengatur dirinya sendiri. Saat berjalan di eskalator, ada aturan bahwa Anda mesti berdiri di sisi kiri. Yang kanan untuk mereka yang berjalan terburu-buru. Saat menunggu kereta pun begitu. Anda berdiri di tempat di mana pintu kereta terbuka. Yang datang belakangan otomatis berdiri di belakang Anda. Semua orang juga memasukkan tiket keretanya ke mesin otomatis, tanpa penjaga, tanpa taktik. Sebegitu sederhana mekanisme itu berlangsung, tanpa diatur.
Ketika menyeberang jalan, mobil-mobil akan berhenti saat barisan penyeberang belum berhenti, walau lampu lalu lintas sudah hijau untuk mobil dan sudah merah untuk penyeberang. Para penyeberang menanti lampu hijau pun dengan sederhana: membentuk barisan sambil memainkan ponselnya. Tak ada yang menyalip atau menyodok.
Pelayanan Publik
Porter di bandara, terminal, atau stasiun akan menyambut Anda dan mengangkat bawaan Anda tanpa diminta jika mereka melihat Anda kerepotan. Mentalitas pelayan publik tampaknya merasuk pada diri mereka yang memang bertugas di sektor tersebut. Sebelum tiba di Stasiun Kofu, saya diberi tahu akan dijemput oleh seseorang. Setibanya di sana, seseorang yang mengenakan kaca mata dan berwajah ramah melambai kepada kami. “Dari Indonesia?” tanyanya ramah, sambil mengambil salah satu koper kami dan menentengnya. “Mudah-mudahan Anda tidak kedinginan, ya, di Kofu,” ujarnya lagi sambil tersenyum lebar.
Ia terus berjalan sejauh 400 ratus meter menuju sebuah restoran. ”Restoran ini yang membuat jus anggur Yamanashi untuk Garuda Indonesia,” tuturnya. “Kita titip bawaan Anda di sini, nanti akan ada yang mengambilnya lalu mengantarnya ke hotel Anda. Sekarang kita langsung ke konferensi pers di gedung itu,” tuturnya sambil menunjuk gedung yang ternyata markas tim Ventforet Kofu.
Setelah itu, ia langsung menyerahkan kartu namanya. “Ini kartu nama saya,” ujarnya. Terbaca di situ: “Yoshifumi Fujimaki, Wakil Direktur Divisi Internasional Dinas Pariwisata, Pemerintah Prefektur Yamanashi”. Saya dan rekan seperjalanan langsung saling pandang dan mulai merasa tidak enak. Namun, Yashifumi-san tampak cuek dan terus melenggang. “Kami berharap Anda berdua senang di Jepang, terutama di Kofu,” katanya seraya tersenyum lebar lagi.
Sekali lagi kami cuma tersenyum agak asam karena maerasa tak enak. Apakah ini mentalitas umum di Jepang? Faktanya sepanjang menelusuri J. League, kami kerap merasakan betapa mudahnya mendapat pelayanan di negeri itu di mana pun, apalagi di kantor pemerintah. Tak hanya itu para suporter yang berduyun-duyun ke stadion pun tak ada yang melanggar aturan apa pun. Ribuan fan Urawa Reds Diamonds mengular dengan tertib bersama pengguna jalan yang lain, mengikuti instruksi para petugas stadion dan polisi. Tak ada yang meraja di jalanan dalam situasi apa pun.
Berbeda dengan di negara kita? Anda silakan nilai sendiri. Namun, rasanya jika ingin mencapai kemajuan di bidang apa pun, watak baik kita perlukan. “Jangan kebanyakan cingkune,” kata rekan perjalanan saya. Saat saya tanya maksudnya, ia menjawab pendek,”Jangan kebanyakan taktik dan dalih!”
Ya, saya setuju: jangan kebanyakan cingkune!
Artikel ini ditulis oleh Achmad Lanang dan dimuat oleh FourFourTwo Indonesia edisi Januari 2014.
Ikuti segala perkembangan terbaru tentang sepak bola di @FFT_Indonesia.
Editor | : | Dominico Tri Sujatmoko |
Komentar