kali tanpa perubahan.
Tidak hanya itu, gol tunggal yang dibuat pemain paling berbahaya, Pittaya Naisuppap, di menit ke-32 itu sebenarnya tidak perlu terjadi, jika kiper Triyo Sumanto tidak ragu-ragu. Begitu juga seharusnya bek kiri Joko Subagiyo. Ia ragu-ragu memotong gerakan bola sehingga mampu dicuri Watanna Pochanakong untuk kemudian dijejalkan ke arah gawang. Bola lepas dari tangan Triyo dan dimanfaatkan oleh Pittaya.
Dari kubu Indonesia sendiri tak terdengar komentar apa-apa. Hanya saja pelatih Maryoto terus mengomel lantaran para pemain tidak membawa sepatu pengganti untuk lapangan becek.
Padahal sebelumnya, Indonesia benar-benar berada di atas angin. Namun anak-anak negeri gajah putih, Muangthai, tak mempedulikannya. Mereka melabrak dan menghasilkan satu gol yang sekaligus menggagalkan segalanya, Selasa malam di Stadion Utama Senayan.
Kehilangan Permainan
Turun di bawah hujan, tim asuhan Bukhard Pape dan Maryoto ini tidak tampil sehebat dua pertandingan sebelumnya. Bahkan kelihatan sekali beberapa pemain kehilangan permainan. Akibatnya, pertolongan wasit pun tak ada artinya.
Dalam dua penampilan sebelumnya, I Made Pasek dan kawan-kawan begitu perkasa. Mereka menelan Singapura dan Malaysia 4-1. Tidak sekadar kemenangan besar itu yang mereka capai. Pola dan gaya yang mereka tampilkan juga membesarkan hati.
Tanpa Pengurus
Kesedihan lebih terasa lagi, karena begitu pertarungan berakhir, tak seorang pun pengurus PSSI yang sebelumnya tampak begitu banyak di VIP Barat, datang untuk menenangkan anak-anak.
Begitu wasit Reyes meniupkan peluitnya dan pertarungan 90 menit usai, pengurus PSSI pun berhamburan meninggalkan tempatnya.
Berbeda jika pasukan Maryoto, Pape, dan MA Rais itu berhasil, tentu begitu banyak pengurus yang akan turun untuk bersalaman seperti ketika tim pelajar menjadi juara Asia. Sayang, kalau hal itu harus menimpa anak-anak yang masih polos.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Mingguan BOLA Edisi No. 115, 10 Mei 1986)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar