Ketika bulan lalu di Roma saya memberitahu Julian Bees bahwa saya telah minta kepada AC Milan untuk memperoleh tiket pertandingan klub itu melawan Real Madrid, kolumnis dan wartawan senior Ansa (kantor berita Italia) itu mengangkat jempolnya.
"Hebat kalau Anda berhasil," kata orang Inggris yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di negeri spagheti itu.
Ternyata saya memang gagal. Tiket gratis untuk wartawan sudah habis, hingga saya terpaksa membeli karcis catutan untuk bisa menyaksikan partai semi-final kejuaraan Eropa itu.
Pada bulan itu juga, Rob Hughes, kolumnis sepakbola kenamaan untuk International Herald Tribune, Sunday Times, dan juga BOLA, mengatakan hal yang sama ketika saya utarakan maksud saya untuk menyaksikan final perebutan Piala FA di Wembley dari press box.
"A swine to get accredited," tutur Rob dalam suratnya.
Urusan memperoleh tiket masuk Wembley kali ini memang menjadi kisah yang cukup panjang.
Jauh lebih panjang dibanding ketika empat tahun lalu, dengan surat pengantar pendek dari Wiel Coerver, mudah sekali memperoleh tiket masuk untuk menyaksikan partai final perebutan Piala Liga antara Norwich dan Sunderland.
Kejuaraan Piala FA memang sudah bukan tontonan orang Inggris Raya saja. Tradisi nya yang panjang, manajemennya yang rapi, dan mutunya yang tinggi, telah membuat partai puncak itu ditunggu-tunggu para pecandu sepakbola dunia.
Tak kurang dari 500 juta orang di 70 negara menyaksikan pertandingan final Piala FA kali ini melalui TV, dan sejumlah itu pula di 70 negara lain menontonnya dari siaran tunda.
"Kali ini saya tidak bisa membantu. Banyak sekali wartawan yang membutuhkannya. Datanglah sendiri ke kantor FA," ujar Nyonya EM Ellis, sekretaris seksi sosial Liga Inggris yang dulu membantu saya.
Dari Glen Kirton, kepala humas dan jurubicara FA, jawaban pertama yang saya terima sungguh menyesakkan.
"Sorry, saya tak bisa menolong," katanya singkat dari ujung telepon, meski kami sama-sama berada di markas FA.
Jadi harus beli karcis catutan lagi?
Kalau terpaksa sih tak apa. Seperti ketika di Milan, harus merogoh kantung untuk karcis seharga 95.000 lira (sekitar Rp 125.000).
Tapi, seperti kebrengsekan suporternya, pencatut karcis di Inggris ternyata juga sadis. Untuk karcis duduk yang mustinya berharga 32 pound (sekitar Rp 92.800) mereka menawarkannya dengan 140 pound, bahkan sehari kemudian dinaikkan menjadi 200 pound.
Lebih dari setengah juta rupiah hanya untuk menonton sebuah pertandingan, yang bisa disaksikan dengan nyaman, dan pasti aman, di TV?
***
Putar ke sana ke mari, telepon ke nomor itu dan ini, akhirnya mengantarkan saya dan Agus Suyono, koresponden Antara di London yang sangat membantu, ke kantor KBRI di Grosvernor Square.
Rupanya tiap tahun KBRI kita mendapat jatah dua undangan khusus, seharga 75 pound, yang kali ini tidak diambil. Minister Counsellor Sidharta mengizinkan saya untuk membeli jatah KBRI itu. Terima kasih.
Tapi, rupanya Tuhan belum mengizinkan saya untuk mengeluarkan uang sebanyak itu (sekitar Rp 217.500 lho!) untuk selembar karcis nonton bola.
Tiba di kantor FA surat pengantar dari KBRI tak jadi saya keluarkan ketika melihat tanda-tanda bagus. Ada sejumlah wartawan lain sedang antri, menunggu pembagian tiket ekstra, khusus untuk wartawan tapi tidak masuk press box.
Ternyata nama saya termasuk. Alhamdulillah.
Tempat yang diberikan kepada saya boleh disebut bagus bisa juga dianggap sialan.
Bagusnya, hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat duduk Kenny Dalglish dan para pemain cadangan Liverpool. Sehingga dengan kamera kacang pun saya bisa memotret kejadian-kejadian di pinggir lapangan. Kalau mau saya bisa menarik celana kolor Ian Rush ketika ia melakukan pemanasan sebelum menggantikan John Aldridge.
Tapi duduk di deretan terdepan dan tcrbawah di tribun barat Wembley itu juga merupakan penderitaan. Matahari seperti dibagi satu-satu untuk tiap penonton di bagian itu. Panas sekali.
Lebih celaka lagi ketika ratusan suporter Liverpool dan Everton bergantian menyerbu lapangan untuk meluapkan kegembiraannya. Begitu diusir petugas keamanan mereka malah mundur ke arah tribun barat, membuat kami jadi seperti menonton pameran celana
jean.
***
Persatuan Sepakbola Belanda (KNVB) dan Persatuan Sepakbola Eropa (UEFA) ternyata lebih pandai melayani kepentingan wartawan.
Di stadion Feyenoord, Rotterdam, saya dan semua wartawan lain memperoleh tempat duduk yang sangat nyaman untuk bisa menyaksikan partai Pra-Piala Dunia Belanda melawan Jerman Barat.
Di Bern, UEFA memberi saya tempat duduk yang lebih nyaman untuk menonton partai Barcelona-Sampdoria di final perebutan Piala Winner.
Sama baiknya dengan tempat duduk di stadion Nou Camp, Barcelona, untuk melihat langsung perebutan lambang supremasi sepakbola Eropa, antara AC Milan dan Steaua Bucharest, Rabu lalu.
Tapi, anyway, terima kasih FA Inggris! Dank U, KNVB! Gracias, UEFA!
Oh ya, tentu saya juga harus berterima kasih kepada Fiorentina yang justru paling pertama membuka pintunya bagi saya untuk menonton pertandingan klub mereka melawan Napoli-nya Maradona.
Grazie, signores!
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 274, Minggu Keempat Mei 1989)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar