Bermodal koleksi 27 gelar dalam tujuh pentas berbeda, Josep Lluis Nunez layak memproklamasikan diri sebagai presiden terbaik yang pernah dimiliki Barcelona.
Keseluruhan 27 trofi yang dipersembahkan Nunez datang dari La Liga (7), Copa del Rey (6), Copa de la Liga (2), Supercopa de Espana (5), Liga Champion (1), Piala Winner (4), dan Piala Super Eropa (2). Artinya, Barca di era Nunez (Juli 1978-Juli 2000) tersebut berhasil melengkapi seluruh gelar yang ditawarkan di kompetisi domestik, regional, maupun antarbenua.
Kendati demikian, meski ada yang mencoba mendebat, mayoritas publik dunia justru menilai bahwa masa terbaik sepanjang sejarah Blaugrana adalah di era terkini. Lebih spesifik lagi pada masa kepelatihan Pep Guardiola.
Maklum, orang tak hanya sebatas membicarakan jumlah trofi atau permainan indah, melainkan sudah memasukkan Barca sebagai tim yang menciptakan sebuah kultur. Di era Pep, lewat skema yang kemudian dikenal dengan tiki-taka, filosofi Barca semakin dipertegas. Hasil tak hanya harus berupa angka-angka, tapi juga wajib disertai permainan indah sekaligus mematikan.
Saat mengusung nama Pep, rasanya kurang pantas jika kita tak menyasar aktor di balik penunjukannya: Joan Laporta. Presiden yang satu ini mungkin hanya menyumbang 12 gelar, yang memadukan kinerja Pep dengan pendahulunya, Frank Rijkaard. Akan tetapi, Laporta berhasil membawa Barca menjadi pemain penting dalam industri sepak bola postmodern.
Nah, ketika membicarakan Laporta, kita juga tak boleh melupakan sosok Sandro Rosell. Pasalnya, tak bisa disanggah bahwa Rosell adalah aktor kunci dalam kemenangan Laporta naik ke kursi presiden klub pada 2003. Statusnya sebagai wakil di awal masa jabatan Laporta mungkin cuma formalitas. Fungsi asli Rosell adalah peracik strategi ekonomi Barca sekaligus penghubung klub dengan sosok-sosok sepak bola di belahan Amerika Selatan.
Sebagai mantan pemangku posisi penting sebuah perusahaan apparel raksasa, kebetulan Rosell ditempatkan di Brasil. Meski tak bisa dibuktikan secara nyata, kesuksesan Barca mengakuisisi Ronaldinho pada 2003/04 adalah buah dari kedekatan Rosell dengan megabintang asal Negeri Samba itu.
Sinergi apik antara Laporta dengan Rosell harus berakhir pada musim panas 2005, menyusul tuduhan Rosell bahwa mantan partnernya itu telah berlari jauh melenceng dari rencana semula. Rosell pun menarik diri dari pos Wapres untuk kemudian mencalonkan diri dan memenangi pemilihan presiden klub pada 2010. (BACA JUGA: Kasus Sandro Rosell: Penyelewengan Kontrak Neymar)
Sumber: Harian BOLA, Penulis: Sapto Haryo Rajasa
Editor | : | Eko Widodo |
Komentar