tiang listrik yang bola lampunya lebih banyak mati, atau setengah mati.
Bahkan esok malamnya saya sudah kembali masuk Stadion Utama Senayan.
Lho, apakah saya tidak keliru masuk Wembley?
Sama-sama stadion temu gelang, dan di sana ada pula sebuah tim dengan kostum merah-merah. Pasti. Itu The Reds, pasukan yang dipimpin Kenny Dalglish.
Tapi kenapa tidak ada John Barnes, atau Ian Rush? Warna kulit para pemainnya coklat, dan lawannya Jepang?
Ah, ternyata kostum kebanggaan PSSI sejak dari zaman dulu, merah-putih, entah atas gagasan siapa, telah diubah menjadi merah-merah.
Mudah-mudahan sudah mendapat restu dari Pak Maladi, Pak Kosasih, syukur-syukur juga dari para mantan ketua umum PSSI lainnya, hingga mereka tidak lagi bertanya-tanya di atas sana.
***
Para pembaca, tentu saja bukan itu yang terutama ingin saya sampaikan kepada Anda.
Meski senang sekali sudah berada kembali dl ibukota tercinta, saya masih ingin membagi sisa pengalaman saya selama bertugas di negeri orang dalam satu setengah bulan terakhir ini.
Kembali tentang Italia dan Spanyol, dua negeri baru, urutan ke-26 dan 27 dalam daftar jelajah jurnalistik saya.
Tentang Italia, Anda sudah sering dengar ceritanya, bukan? Boleh jadi malah Anda sudah sering bolak-balik ke sana.
Konon, jika Anda berada di sebuah jalan di sana, sebutlah Via Nazionale di Roma, Anda akan menemukan 7 wanita di antara 10 orang yang berlalu lalang. Dan dari tujuh wanita itu terdapat delapan yang cantik.
Ah, tentu bukan itu yang membuat saya tertarik untuk buru-buru mengunjungi Italia. Bukan itu pula sebabnya saya melempar beberapa koin ke Fontana di Trevi.
Piala Dunia 90, empat tahun setelah Meksiko, akan diperebutkan di negeri spagheti itu. Maka tentunya tak perlu dipertanyakan lagi pentingnya Italia dalam setahun terakhir ini bagi mereka yang ingin meliput peristiwa sepakbola terbesar itu.
Kini boleh dibilang sebagian besar medan pertempuran tahun depan telah saya kuasai, berikut jaringan-jaringannya yang terpenting.
Dan tentu saya juga sudah amat fasih mengucapkan nama makanan yang paling cocok dengan lidah Melayu, berikut semua bon dan bonnanya.
Lalu Spanyol?
Tentu, saya pun ke Barcelona bukan untuk menonton adu banteng, atau melirik si mata biru.
Tiga tahun lagi, kesibukan olahraga amatir dunia akan beralih dari Seoul ke kota indah di pantai timur Spanyol itu dengan diselenggarakannya Olimpiade 92.
***
Orientasi sejak dini, kata para pakar, merupakan salah satu kunci keberhasilan mengemban tugas.
Apalagi, kebetulan sekali, Italia dan Spanyol adalah dua negeri yang memegang peran paling penting dalam percaturan sepakbola antar klub di Eropa tahun ini.
Italia mencatatkan dirinya dalam peran yang lebih besar dengan tampilnya Napoli sebagai peraih Piala UEFA, dan AC Milan sebagai perebut Piala Champion.
Sedang reputasi Spanyol diwakili oleh keberhasilan FC Barcelona menggaet Piala Winner setelah dalam final mengalahkan sebuah klub lain dari Italia, Sampdoria.
Saya beruntung bisa melihat langsung dua dari tiga pertandingan final yang menjadi sorotan dunia itu, yakni partai Barcelona - Sampdoria di Bern dan pertarungan Milan melawan Steaua Bukarest di Barcelona.
Jadi kehilangan kesempatan menyaksikan Napoli mengalahkan Stuttgart di kandang sendiri dan menahan mereka seri di kandangnya?
Tentu tidak. Dan inilah saya kira salah satu hal yang penting untuk dicatat. Tangan-tangan televisi begitu panjang, rajin dan profesionalnya di sana, sehingga tidak satu pun peristiwa yang cukup penting, apalagi yang betul-betul penting, sampai tidak terliput, terlambat diliput, atau malah lupa terliput.
***
Maka saya kembali ke Jakarta dengan begitu penuh pengalaman berharga, termasuk yang untuk dibagikan kepada mereka yang berkecimpung dalam Galatama kita.
Memang bukan cerita baru, tapi masih tetap menarik karena merupakan gejala yang universal.
Cobalah perhatikan AC Milan misalnya. Siapakah pemain-pemain yang menjadi kunci kekuatan mereka selain Baresi, Tassotti dan Maldini, Donadoni dan Ancelotti?
Ya, tak salah lagi, tiga bintang dari Belanda itu: Gullit, Van Basten, dan Rijkaard.
Lalu Napoli. Siapakah selain Carnevale dan Fernando de Napoli yang mencuat di sana? Maradona dari Argentina dan Careca serta Alemao dari Brasil.
Juga Barcelona. Siapakah selain Salinas, Roberto, dan Zubizaretta yang bersinar terang? Gary Lineker dari Inggris!
Tak ada maksud untuk mendramatisasi keadaan, tapi kehadiran pemain-pemain asing di negeri yang sepakbolanya sudah begitu maju pun masih sangat dibutuhkan.
Pertanyaan lanjutannya, kenapa tidak pada Galatama kita?
Sungguh, senang sekali mendengar Ricky Yakob ditawar sebuah klub Jepang untuk bermain di sana. Semoga lebih banyak pemain lain mengikuti jejak Ricky.
Tapi sementara itu, dengan beberapa alasan, terutama demi peningkatan prestasi pemain-pemain kita, Galatama kita pun masih harus mengimpor pemain.
Ya, ini sebuah lagu lama. Tapi terpaksa saya putar lagi karena di Eropa ternyata ia masih tetap merdu.
Dan kalau warna kostum, yang disesuaikan warna bendera nasional, bisa diubah, kenapa tidak kebijaksanaan tentang pemain asing?
Selamat pagi, Pak!
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 275, Minggu Pertama Juni 1989)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar