George Graham sendiri, manajer Arsenal, tak percaya Sabtu sore itu timnya bisa mengalahkan Liverpool di kandangnya, dan dengan demikian muncul sebagai juara divisi I.
Apalagi Kenny Dalglish, manajer Liverpool. Wajahnya begitu kuyu dan muram begitu pertandingan berakhir! "Aku tak percaya. Tak mungkin, tak mungkin!" begitu komentarnya.
Tapi hampir semua orang yang tahu cukup banyak tentang perimbangan kekuatan dalam sepakbola Inggris memang terkejut ketika mengetahui hasil partai terakhir kompetisi 88-89 itu.
Semua segi sudah menguntungkan Liverpool. Mereka tinggal meraih satu poin untuk mengungguli lawannya yang baru mengumpulkan 73 poin dari 37 pertandingan. Dan juga bermain di kandang sendiri, yang berarti mendapat dukungan semangat dari mayoritas 45.000 penonton.
Selain itu, dalam tujuh kali penampilannya di Anfield Road, kandang Liverpool itu, belum pernah Arsenal memetik kemenangan. Tambah lagi, Liverpool tak terkalahkan dalam 24 pertandingan terakhir.
Tapi apa lacur, semua nilai lebih Liverpool tergusur dalam pertarungan 90 menit di Sabtu sore yang cerah itu. Bukannya lebih agresif karena bermain di kandang sendiri, John Barnes dan kawan-kawannya malah begitu hati-hati, seperti takut meninggalkan daerah permainannya sendiri.
Sebaliknya Arsenal, yang tak perlu takut apa pun tampil begitu meyakinkan, sehingga partai yang tadinya dianggap sekadar formalitas bagi penyerahan gelar kepada Liverpool, menjadi milik mereka. Dua gol dari Alan Smith (52) dan Michael Thomas (90) membalikkan semua ramalan, termasuk pengunggulan 16-1 di pasar taruhan.
Apakah yang terjadi dengan Liverpool?
Jelas, ada faktor tak beruntung. Sebab cukup banyak peluang yang diperoleh The Reds.
Ada juga faktor kegugupan, karena akan memetik dua gelar sekaligus dalam satu musim setelah kemenangan gemilang atas Everton dalam final perebutan Piala FA.
Dan faktor yang nampaknya lebih besar, pasukan Liverpool sudah melewati kondisi puncaknya, baik secara mental maupun fisik, begitu mengalahkan Everton di Wembley itu.
Apalagi dikaitkan dengan tragedi Hillsborough. Dengan merebut Piala FA itu mereka merasa telah membayar dengan amat pantas kerugian akibat tragedi itu dengan kemenangan dalam partai puncak sepakbola nasional, yang biasanya memang diselenggarakan setelah kompetisi berakhir.
Namun, bagaimana pun, tidak ada kekalahan yang bisa diterima dengan kegembiraan. "Kami sungguh-sungguh kecewa, tak mampu merebut gelar itu setelah begitu dekat," tutur Dalglish sedih.
Syukurlah, para suporter Liverpool sendiri tak sesedih Dalglish, Barnes, John Aldridge, Ian Rush, atau siapa pun di kubu pasukan Merah itu.
Mereka, yang tadinya dikira akan mengamuk, ternyata menyambut hangat ajakan polisi untuk minggir dari lapangan, memberi kesempatan para pemain Arsenal memamerkan kegembiraan mereka bersama piala yang baru saja direbut.
Dan nyanyian kebanggaan Liverpool, You'll Never Walk Alone, memang cocok dengan keadaannya sekarang.
Anda tak mungkin berjalan sendiri, kata lagu itu. Dengan kata lain, jangan memborong gelar - meski Liverpool sudah menikmatinya tiga tahun lalu.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 276, Minggu Kedua Juni 1989)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar