Saya yakin Anda semua masih ingat, apa alasan pelatih kita untuk tidak memanggil Dadang Kurnia masuk tim nasional.
Dadang, bintang Bandung Raya itu, memang diakui banyak mencetak gol dalam kompetisi Galatama. Bahkan bersama Mecky Tata dari Arema akhirnya sama-sama meraih gelar top scorer.
Tapi, kata mereka lagi, sebagian dari gol-gol Dadang itu adalah hasil tendangan penalti.
Kesimpulannya, Dadang belum benar-benar menunjukkan keampuhannya sebagai penyerang. Ia dianggap belum layak berdampingan dengan Ricky Yakob, Agusman Riadi, dan lain-lain.
Jadi, yah, sori Kang Dadang, sampai kapan-kapan deh.
***
Saya yakin hari Minggu lalu Dadang tertawa di depan tivi atau radio. Atau mungkin malah langsung di stadion utama Senayan.
Karena ada komedi di tengah lapangan seperti dikatakan Sarman Panggabean?
Tidak.
Dadang pantas tertawa, atau senyumlah, karena gol dari tendangan penalti yang dianggap "kurang afdol" oleh pelatih tim nasional justru menjadi kunci kemenangan tim itu sendiri.
Kalau hari itu Dadang sedang kesal mungkin ia akan bilang, "Makan tuh penalti!"
Dua tendangan penalti Herry Kiswanto ditambah gol indah Mustaqim, memang alhamdulillah, mampu membuat tim kita untuk pertama kalinya mencetak kemenangan dalam persaingan pra-Piala Dunia di Grup VI Asia itu.
Tapi, apakah kita lantas bilang, "Ah, hanya kebetulan saja tendangan Herry masuk"?
Atau kita anggap kemenangan tim kita atas Hongkong itu jadi kurang afdol?
***
Sikap suka atau tidak suka pelatih terhadap seorang pemain dalam pembentukan tim nasional itu sebenarnya biasa sekali.
Kita dapat mengambil contoh cukup banyak di sekitar kita ataupun di bagian dunia yang lain.
Di Jerman Barat misalnya, Harald "Toni" Schumacher tak dipanggil masuk tim nasional lagi oleh pelatih Franz Beckenbauer, meski prestasinya masih lebih baik dari kiper-kiper lainnya.
Tapi yang agak membedakannya adalah alasan yang diberikan pelatih kita kenapa si A atau B tidak dipanggil.
Jelas lebih baik diam, tanpa komentar, seperti yang ditempuh Beckenbauer dalam hal Schumacher daripada membuat alasan yang aneh-aneh, dibuat-buat.
Apalagi sampai mengatakan seolah-olah gol dari tendangan penalti itu kurang berarti: bukan hasil ketrampilan khusus; tidak menjadi faktor plus bagi seorang pemain yang menguasainya dengan baik.
Lihat saja dalam pengalaman yang kemudian menjadi sejarah ataupun sekadar kenangan, betapa banyak tendangan penalti yang menentukan atau menggagalkan kemenangan.
Abdul Kadir sendiri, salah seorang dari trio Basiska yang kini menangani tim nasional kita, pasti tidak akan pernah lupa tentang pahitnya kekalahan karena kegagalan melakukan eksekusi.
Itulah ketika tim kita bertanding melawan Israel dalam pra-Olimpiade Muenchen di Rangoon tahun 1972. Tendangan Kadir melebar ke sisi kiri gawang, hingga ketinggalan kita 0-1 tetap tak terkejar.
Iswadi, salah satu anggota trio Basiska lainnya, tentu juga tetap ingat apa yang membuat tim yang dikapteninya gagal meraih tiket ke Olimpiade 1976.
Itulah ketika Anjas Asmara, di depan 120.000 penonton di stadion utama Senayan, gagal melakukan eksekusi dalam adu penalti melawan Korea Utara untuk menyudahi skor 0-0 selama 120 menit.
Dalam Piala Dunia 66 kita pun mengetahui bagaimana prestasi Korea Utara yang luar biasa, unggul 3-0 atas Portugal dalam babak pertama perempat-flnal, dihancurkan Eusebio dengan tiga penalti dan dua gol yang lain.
Meksiko pun gagal membuat sejarah dalam Piala Dunia 86 karena ketidakmampuan pemainnya menjadi algojo dalam adu penalti melawan Jerman Barat di perempat-final. Dua kali tembakan 12 pas mereka dimentahkan oleh Schumacher, pahlawan yang kemudian dianggap bajingan oleh Beckenbauer itu.
***
Di antara gelar pahlawan dan bajingan itu terdapat buku berjudul Anpfiff, yang kemudian diterjemahkan jadi Blowing the Whistle, semacam biografi Schumacher.
Di sana Schumacher menceritakan apa saja yang terjadi dalam tim nasional, termasuk hal-hal yang dianggap rahasia. Hingga seluruh masyarakat sepakbola Jerbar marah besar, dan Beckenbauer bersumpah tak akan memanggilnya lagi untuk tim nasional.
Beckenbauer dengan demikian tidak seratus persen menjalankan tugasnya sccara teknis. Faktor non-teknis, perasaan pribadinya dan juga sentimen nasional, ikut menentukan keputusannya.
Tapi siapa yang meributkannya? Sebagian besar bahkan mengamini tindakan itu. Yang penting, masuk akal sehat.
Akal yang kurang sehat memang bisa membuat orang lain sakit. Karena itu, Dang, tunggulah sampai mereka sehat dan segar kembali.
Mudah-mudahan mereka maklum apa arti dua eksekusi Herry Kiswanto di hari Minggu itu.
Amin.
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 279, Minggu Kelima Juni 1989)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar