masing, sebelum akhirnya kedua kompetisi ini melebur jadi satu bernama Liga Indonesia pada 1994.
Dua turnamen itu memiliki sejarah panjang. Galatama memang menjadi ‘anak baru’ ketimbang Perserikatan dalam kompetisi sepak bola lokal. Kompetisi itu lahir karena tuntutan klub untuk mandiri dari segi pendanaan.
Sedangkan Perserikatan, memulai kompetisi setelah satu tahun kelahiran PSSI. Format masih berjalan amatir karena mengadopsi gaya Belanda ketika memperkenalkan sepak bola di Indonesia. Sebenarnya kompetisi ini cikal bakalnya sudah ada sejak tahun 20-an yang masih mengusung fanatisme kedaerahan.
Jauh sebelum Galatama resmi diperkenalkan, PSSI sudah membentuk klub profesional pada 1976 dengan 8 klub. Meski sudah berbadan hukum, status pemain tetap amatir.
Ketua Umum PSSI kala itu, Bardosono, berencana mengesahkan pemain yang berlaga di klub profesional itu sebagai pemain profesional pada Oktober 1977, namun gagal karena dirinya harus lengser pada Mei 1977.
Kursi pun diserahkan kepada Moehono sebelum akhirnya Ali Sadikin terpilih secara sah sebagai ketua umum periode 1977-1981 pada Agustus 1977.
Keinginan membentuk klub-klub profesional menjadi buyar lagi. Ali Sadikin menunda pelaksanaan sepak bola profesional. Di sinilah PSSI memperkenalkan program barunya: Galatama, Galakarya, Galasiswa, dan Galanita pada 1978 dan bergulir mulai 1979.
Galatama tetaplah disebut semiprofesional karena para pemainnya masih amatir. Meski peraturan penggunaan pemain asing (yang disebut pemain profesional) diberlakukan di kompetisi ini, tetap saja pemain lokal masih berstatus amatir.
Penyelenggaraannya pun tak terbilang adem ayem karena dipenuhi banyak masalah dari mulai kurangnya tim peserta sampai banyak tim yang mengundurkan diri bahkan bubar. Ini akibat hasrat ingin profesional tapi pelaksanaannya setengah-setengah.
“Kendala utama di Galatama ialah penonton. Masyakarat sulit lepas dari Perserikatan sebab memang sangat fanatis dan membawa nama daerah. Perserikatan lebih pas dengan budaya masyarakat kita waktu itu,” kata pengamat sepak bola, Ismangoen Notosaputro.
Galatama akhirnya berhenti. Banyak perserta mengundurkan diri karena masalah finansial, terlebih lagi maraknya isu skandal pengaturan skor dan kerusuhan penonton. Pada 1994 kompetisi ‘dilebur’ menjadi satu kompetisi bernama Liga Indonesia.
(Artikel ini direproduksi dari Mingguan BOLA)
Editor | : |
Komentar