Sacchi sendiri merasa akan menghadapi perlawanan sengit, seperti dikatakannya ketika masih di Milan. "Real Madrid membiarkan kami main, tapi Bukarest akan menghalangi kami," ujarnya.
Maka jangan heran kalau Sacchi pun - seperti ribuan penonton lainnya, termasuk ratusan wartawan (semuanya 750 wartawan) - terperangah oleh kenyataan yang kemudian terjadi di lapangan.
Ya, siapa menyangka partai final kejuaraan Eropa itu dimenangkan Milan dengan begitu mudah?
Belum apa-apa, baru lima menit, sudah dua kali Donadoni membuat kiper Lung harus merentangkan tangannya lebar-lebar agar tidak kebobolan. Lalu Gullit, di menit 15, setelah menerima umpan panjang Baresi, menghajar tiang jauh dari sisi kiri kotak penalti.
Dua menit kemudian ia tak membuat kesalahan lagi ketika menyelesaikan sebuah kemelut di depan gawang Bukarest yang dimulai oleh bek kanan Tassotti. Dari jarak sangat pendek, Gullit menghantamkan kaki kanannya ke sudut gawang yang jauh dari jangkauan kiper Lung.
Jangan tanya lagi bagaimana reaksi para tifosi. Gedebam tambur, kembang api, dan sorak-sorai jauh lebih menggema, dan seperti tak akan berhenti karena memang permainan Milan begitu hidup. Gullit pun begitu cemerlang dengan kerja kaki dan kepalanya. Juga Van Basten, juga Rijkaard, juga Donadoni, juga Baresi, Ancelotti, Colombo, Tassotti, dan kiper Galli.
Hanya bek kiri Maldini yang agak kewalahan karena ke daerah itulah Bukarest lebih banyak melakukan serangan balik. Tapi, sungguh, hanya sekali kerjasama bek kanan Petrescu dan mesin gol Hagi sangat berbahaya.
Selebihnya, mereka ternyata bukan apa-apa. Beda sekali dengan Bukarest yang mengalahkan Barcelona dalam final kejuaraan Eropa 86 ataupun Bukarest yang bertarung melawan River Plate dalam perebutan Piala Toyota 86, meski pemainnya itu-itu juga.
Di Nou Camp malam itu tak nampak sama sekali ketajaman serangan Bukarest yang menempatkan Hagi dan Lacatus sebagai top-scorer dengan 6 dan 7 gol, hanya di bawah Van Basten yang sampai sebelum final itu telah mencetak 8 gol.
Dan dalam pertahanan, di kedua sayapnya maupun di jantungnya, lebih terasa lagi kelemahannya. Gullit, Basten, dan lain-lainnya seperti dibiarkan saja menerima dan menguasai bola. Kiper Lung pun amat terasa kelambatan reaksinya.
Ini membuat serangan demi serangan Milan datang ganti-berganti, termasuk dari overlap Baresi dan Tassotti. Tak heran kalau kemudian tercetak tiga gol lagi, dari Van Basten dan Gullit, semuanya dengan mudah. Tak ada pemain lawan yang mengganggu kedua bintang Belanda itu sebelum menghajar gawang.
Bahkan kalau Rijkaard, Ancelotti, Donadoni, dan Virdis (yang menggantikan Gullit karena cedera lututnya kambuh pada menit 60) sedikit beruntung, bisa tercetak beberapa gol lagi.
Tapi empat gol dalam pertandingan seperti ini memang sudah terlalu banyak. Apalagi tiga gol dalam 38 menit pertama! Membuat mutu final Piala Champion kali ini kehilangan sebagian kecemerlangannya.
Tapi suporter Milan mana yang peduli pada kelemahan lawan? Yang penting kemenangan sudah dipetik, dan bintang-bintang pujaan mereka sudah pula menampilkan permainan yang membanggakan.
Dan yang penting buat Gullit cs, bonus dari Berlusconi kini sudah bisa ditagih. Dari situ, pesta apa saja bisa dinikmati sepuas-puasnya, tak hanya mabuk-mabukan sampai pagi ala tifosi.
AC Milan (4-4-3): Giovanni Galli, Mauro Tassotti, Franco Baresi, Antonio Costacurta/Filippo Galli, Paolo Maldini, Angelo Colombo, Frank Rijkaard, Roberto Donadoni, Carlo Ancelotti, Ruud Gullit/Paolo Virdis, Marco van Basten.
Steaua Bukarest (4-4-2): Silviu Lung, Dan Petrescu, Adrian Bumbescu, Stefan Iovan, Nicolae Ungureanu, Gavril Balint, Tudorel Stoica, Gheorghe Hagi, Pietro Minnea, Marius Lacatus, Victor Peturca.
Pencetak gol: Gullit 17, Van Basten 26, Gullit 38, Van Basten 46.
Penonton: 97.000 (di antaranya 85.000 suporter AC Milan).
Pemasukan uang: dari penjualan karcis, 232 juta pesetas (sekitar Rp 4,48 milyar); dari penjualan hak siaran televisi, 86 juta pesetas (sekitar Rp 1,29 milyar); dari penjualan iklan, 80 juta pesetas (sekitar Rp 1,20 milyar).
(Penulis: Sumohadi Marsis, Mingguan BOLA Edisi No. 275, Minggu Pertama Juni 1989)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar