kata yang tertulis pada sebuah spanduk besar berwarna hijau, tergantung di atas VIP Timur Stadion Utama Senayan, ketika berlangsung pertandingan final kompetisi divisi utama PSSI, Sabtu lalu.
Spanduk itu jelas dibuat oleh para pendukung PSMS Medan, siapapun mereka. Apakah mereka itu Pujakesuma (putra Jawa kelahiran Sumatera) atau mungkin juga bukan. Siapa tahu pembuat spanduk itu mereka yang berasal dari Tegal, Solo, Purwokerto, Malang, Kediri, atau Surabaya.
Antara kata-kata di spanduk itu dengan sebagian pemain PSMS ada kesamaannya. Pemain PSMS yang tampil menghadapi Persib, sebagian besar adalah Pujakesuma. Ponirin, Musimin, Sunardi A dan B, Nirwanto, Sakum Nugroho, Mameh Sudiono, Hadi Sakiman.
Di dalam tim ini tak jadi persoalan lagi siapa Jawa dan siapa Batak. Tekad mereka adalah berjuang habis-habisan untuk kemenangan PSMS. Dan hasil perjuangan itu sudah mereka nikmati. PSMS tampil kembali sebagai juara. Suatu keberhasilan yang ikut dinikmati Bawono, manajer tim yang Jawa, dan Parlin Siagian, pelatihnya yang Batak.
Apa yang disuguhkan anak-anak Medan di Stadion Utama Senayan Sabtu lalu, membuat kita mengenang kembali perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Utara. Saat itu orang bukan hanya mengenal Djamin Ginting sebagai pimpinan perlawanan terhadap Belanda, tapi juga ada Bedjo.
Dan di tengah kelesuan prestasi tim nasional kita, sepakbola memberikan suatu kenyataan positif bahwa pandangan picik tentang kesukuan sudah terkubur. Membela nama daerah bukan lagi berarti membela suku.
Buktinya, Sukowiyono tak kalah fanatiknya dengan Ajat Sudrajat dalam membela panji Persib. Begitu pula Hengky Sieger bermain habis-habisan buat PSM. Daya juang semacam ini sudah pula diperlihatkan Anwar Ujang asal Karawang buat PSMS atau Jacob Sihasale yang Nyong Ambon untuk Persebaya.
Setiap kompetisi ataupun turnamen di mana pemain-pemain membela nama daerahnya melalui tim Perserikatan, begitu jelas terlihat semangat pantang menyerah. Mereka bermain mati-matian di atas lapangan selama 2 x 45 menit. Pendeknya, sudah bukan waktunya kita bicara atau meragukan kebhineka-tunggal-ika-an bangsa kita.
Sayangnya, semangat itu bak embun diterpa sinar matahari begitu mereka tampil untuk tim nasional. Pemain-pemain yang sangat enerjik ketika tampil bersama tim Perserikatannya, begitu mengenakan kostum dengan lambang Garuda di dadanya, menjadi seorang pemuda yang lemah lembut.
Hilang kebringasannya. Padahal sepakbola merupakan permainan orang jantan yang tak membutuhkan lemah gemulainya seorang penari di atas panggung. Kemauan untuk ngotot, seperti sudah tertinggal di kamar pakaian.
Padahal semangat pantang menyerah itu dibutuhkan seorang pemain atau atlet di mana saja ia bermain. Apakah itu pada tim Perserikatan, Galatama, ataupun Nasional. Bagaimanapun baiknya teknik dan taktik permainan suatu tim tak akan bisa berbuat banyak di atas lapangan jika tak mendapat dukungan dari 11 pemainnya dengan semangat juang yang pantang menyerah.
Di sini motivasi diperlukan. Pembina memang juga harus mampu menumbuhkan perasaan kebanggaan yang besar pada diri masing-masing pemain tim nasional. Misalnya bahwa tidak semua pemain sepakbola yang bisa memperoleh kehormatan seperti mereka, menjadi pemain nasional dari negara yang berpenduduk 150 juta orang.
Tapi kesadaran semacam ini mustinya juga benar-benar tertanam dan merasuk dalam diri setiap pemain, sehingga mungkin untuk mati di lapangan pun mereka mau, buat kepentingan nasional. Kepentingan bangsa dan rakyat. Untuk itu barangkali perlu dijaga jangan sampai predikat kepentingan nasional itu jadi inflasi, karena kelewat sering dilontarkan.
(Penulis: Sam Lantang, Tabloid BOLA Edisi No. 53, Jumat 1 Maret 1985)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar