mula adu mulut, dan kemudian emosi berbicara, pisau pun dihunus. Korban jatuh, meski tak sampai tewas. Yang kehilangan nyawa malah penonton lain yang tak berkelahi. Ia jatuh dari tribun karena dikejar polisi yang bertugas menghalau penonton tanpa karcis.
Rentetan kejadian ini melukiskan sejumlah nilai sekaligus pada kejuaraan nasional sepakbola yang diselenggarakan PSSI tiap dua tahun. Sepakbola sebagai cabang populer tidak hanya di negeri ini tapi juga di dunia, terbukti memang terus menyedot para pecandunya untuk memenuhi stadion.
Arus publik itu semakin deras karena tim Perserikatan, yang bertarung dalam kejuaraan panjang dan melelahkan ini juga mengandung konotasi tim Daerah, tim yang menjadi wakil dalam arti geografis dan sosiologis. Maka fanatisme berbicara - tak hanya terhadap suatu tim olahraga, tapi terhadap wakil sebuah Daerah, wakil suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dalam batas tertentu, sikap fanatik pemain dan juga para pendukungnya, memang menguntungkan. Ini tampil dalam sikap bertanding yang didukung dengan semangat juang tinggi hingga detik terakhir pertandingan: dan sementara itu penonton mengalir untuk makin membakar semangat sembari memasukkan keuntungan jutaan rupiah ke kantong PSSI.
Tapi ekses-ekses yang kemudian timbul, seperti contoh-contoh di atas, membuktikan bahwa fanatisme seperti itu juga merugikan. Penonton yang fanatik, terbuai dalam pikiran yang melulu tertuju kepada tercapainya kemenangan-kemenangan bagi tim yang didukungnya. Kemenangan adalah nomor satu - bahkan seperti ia adalah kemenangan dari suatu peperangan yang sesungguhnya: kemenangan dengan memusnahkan lawan, bukan perang dalam olahraga yang menuntut kebesaran jiwa, sifat ksatria, sportivitas.
Ikrar pimpinan Persib Bandung dan Perseman Manokwari yang dibacakan di depan publik Stadion Utama Senayan Rabu malam, mungkin salah satu jalan untuk mengingatkan kita semua kepada tujuan berolahraga yang sebenarnya.
Tapi apakah setiap kali kita harus membuat ikrar baru? Jangan-jangan FIFA harus membuatkan peraturan khusus untuk sepakbola di Indonesia.
(Penulis: Mahfudin Nigara, Tabloid BOLA Edisi No. 52, Jumat 22 Februari 1985)
Editor | : | Caesar Sardi |
Komentar