Namun, seiring berjalannya waktu, bermain sepak bola di Tulehu menjadi tradisi. Jadi, sepak bola yang dibangun di Tulehu bukan karena gen, tapi tradisi yang dalam waktu singkat bisa tumbuh dengan kuat.
Saking kuatnya tradisi tersebut, anak-anak kecil di Tulehu sudah sering digendong orang tuanya untuk menonton sepak bola di pinggir lapangan.
Bahkan pada saat upacara akikah bayi laki-laki di Tulehu, warga harus melengkapinya dengan rumput dari lapangan Matawaru.
Jadi, jangan heran jika sepanjang jalan masuk Tulehu dan di depan rumah warga terdapat kostum, celana, kaus kaki, sepatu bola, dan bola yang dijemur.
"Kami senang dianggap PSSI sebagai kampung sepak bola. Namun, kami butuh lebih darisekadar julukan. Kami ingin jugaagar diperhatikan dan mendapatdukungan nyata. Salah satunya,pagar disekeliling lapangan agar sapi-sapi tidak berkeliaran dilapangan Matawaru," kata Sani.
Sebuah permintaan sederhana. Tak hanya bagi Maluku, meskipun masih berada di posisi empat besar daerah termiskin di Nusantara, tetapi juga bagi Kemenpora yang pada tahun 2016 mendapat anggaran sebesar Rp3,3 triliun.
Maukah kita membuka mata dan hati untuk Tulehu, atau pula daerah-daerah lain yang memiliki potensi untuk memajukan olah raga kita?
Penulis: Dede Isharrudin
Editor | : | Firzie A. Idris |
Sumber | : | Tabloid BOLA No. 2.646 |
Komentar