Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Sebuah turnamen Grand Slam biasanya memiliki prestise dan tradisi tersendiri. Namun, Wimbledon tahun ini sepertinya tidak lebih dari hanya sekadar gladi resik bagi petenis top dunia sebelum turun di Olimpiade.
Hanya seminggu setelah Wimbledon usai, petenis top akan melepas kostum putih mereka dan kembali ke London di bawah bendera negara masing-masing untuk bertanding di Olimpiade. Sulit untuk dibayangkan bagaimana petenis hebat justru mencari gelar di luar empat seri Grand Slam yang menentukan kesuksesan dan kegagalan karier seorang pemain.
Namun, petenis top masa kini memandang Olimpiade sama pentingnya dengan Grand Slam. Juara bertahan Wimbledon, Novak Djokovic, meyakini Olimpiade adalah "puncak dari semua olah raga", juara Prancis Terbuka 2012, Rafael Nadal, menggambarkan Olimpiade sebagai "kompetisi terpenting di dunia olah raga", sementara Serena Williams mulai merasakan "kupu-kupu kecil di perut" ketika gelaran di London itu semakin dekat.
Ketika pertama kali tenis masuk sebagai olah raga yang dipertandingkan di Olimpiade, pada 1988, petenis dunia hanya menganggapnya sebagai selingan dan beberapa bahkan tidak turun sama sekali. Pandangan tersebut perlahan berubah karena Olimpiade saat ini seakan memiliki daya tarik tersendiri bagi petenis top.
"Bertanding di Olimpiade memiliki emosi berbeda karena kalian tidak hanya bertanding untuk diri sendiri, tapi juga membawa nama bangsa. Jadi, semua petenis pasti merasakan gairah tersendiri jelang Olimpiade," ujar Djokovic kepada Reuters.
"Saya merasa terhormat bisa mewakili Serbia empat tahun silam di Beijing. Meski hanya meraih medali perunggu, saya menganggap pencapaian tersebut prestasi terbaik sebagai seorang atlet profesional," lanjut Djokovic.
Apa yang dirasakan Djokovic ternyata dialami Roger Federer. Sama seperti Djokovic, pengoleksi 16 gelar Grand Slam itu juga menangis ketika meraih emas di nomor ganda pada tahun yang sama.
"Jika Roger memenangi nomor ganda di Grand Slam, saya pikir tidak akan seemosional itu. Bahkan Novak meneteskan air mata ketika meraih medali perunggu. Kalian tidak mungkin melihat itu semua jika ia kalah di semifinal Grand Slam," kata petenis nomor empat dunia, Andy Murray.
Serena Williams juga menjuarai nomor ganda bersama sang kakak, Venus, pada 2008. Duo Amerika Serikat itu telah mengisyaratkan untuk kembali bermain bersama di London.
"Akan sangat menyenangkan jika kami berkesempatan untuk bermain di nomor ganda lagi. Saya telah dua kali tampil di Olimpiade dan meraih dua medali emas, sungguh membanggakan," sebut Serena.
"Saya sebelumnya hanya fokus pada Grand Slam dan menganggap Olimpiade sebagai bonus semata. Namun, kini saya seperti merasakan kupu-kupu di dalam perut ketika Olimpiade semakin dekat," terang Serena.
Bagi pemain yang biasanya berkeliling ke seluruh penjuru dunia, mengikuti berbagai turnamen, dan menjaga eksistensi di kancah tenis dunia, Olimpiade menawarkan kesempatan untuk memberikan sesuatu bagi negara. Djokovic (Serbia), Nadal (Spanyol), dan Maria Sharapova (Rusia) telah dipastikan menjadi pembawa bendera negara masing-masing di upacara pembukaan.
"Olimpiade menawarkan semangat tim yang lebih besar dari Piala Davis. Saya merasa bangga bisa mewakili negara, didukung oleh atlet dari negeri sendiri ketika bertanding, tinggal di perkampungan atlet, dan tentu saja menghadiri upacara pembukaan," tambah Djokovic.
Olimpiade juga menjadi ajang meraih gelar bergensi bagi pemain selain Federer, Nadal, dan Djokovic, yang memenangi 28 dari 29 Grand Slam terakhir, seperti Andy Murray. Petenis Inggris itu berharap bisa merebut medali emas setelah selalu kalah dari ketiga pemain top tersebut dalam perjuangan meraih titel Grand Slam pertama.
"Mungkin 10 tahun silam titel Grand Slam dianggap sebagai pencapaian terbaik seorang petenis. Namun, kini semua pemain top bermain di olimpiade. Jadi, meraih medali emas untuk negara tercinta menurut saya juga merupakan pencapaian hebat," pungkas Murray.