Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Perpanjangan waktu yang diberi FIFA kepada PSSI untuk menyelesaikan kekisruhan, ditanggapi sejumlah pihak. Teranyar oleh kelompok yang menyebut diri sebagai organisasi bernama Save Our Soccer (SOS).
Dalam rilisnya, SOS meminta agar tim Task Force bentukan pemerintah dalam hal ini Kemenpora segera dibubarkan. Adanya keputusan dari FIFA, disebut membuat kinerja Task Force tidak efektif lagi.
"Task Force harus dibubarkan pascakeputusan FIFA tersebut, secara tidak langsung tugas Task Force telah selesai. Dalam arti, tugas utama agar PSSI tidak mendapat sanksi telah tercapai. Walaupun sebenarnya, Task Force juga tidak efektif dan bekerja tidak optimal," tulis SOS dalam rilis yang diterima Bolanews, Selasa (18/12).
"Alasan Task Force harus dibubarkan selain konsekuensi atas putusan FIFA, Task Force juga membebani APBN yang berujung pada pemborosan uang negara. Selain itu, pada masa depan, organisasi tersebut cenderung membahayakan masa depan PSSI karena diduga akan menjadi senjata intervensi bagi PSSI dan akhirnya sanksi FIFA itu benar-benar tiba," sambungnya pernyataan SOS.
Pembubaran Task Force harus diikuti dengan pembubaran KPSI. Bagi SOS, keberadaan KPSI justru akan merusak sepak bola Indonesia. Pada dasarnya, menurut SOS, KPSI merupakan organisasi sebagai bentuk balas dendam dan kekecewaan pasca-kongres Solo.
"Jika pemerintah dan stakeholder sepak bola berpikir jernih, masalah utama sepak bola Indonesia yang terjerumus dalam konflik adalah kehadiran KPSI yang ilegal sebagai bentuk balas dendam dan kekecewaan pascakongres Solo. Secara hukum dan peraturan yang ada dalam sistem keolahragaan di Indonesia, organisasi tersebut tidak diakui dan ilegal. Oleh karena itu, Menpora dan Menteri Hukum dan HAM atas nama bangsa dan negara harus segera membubarkan KPSI."
Dalam rilisnya, SOS juga meminta agar PSSI segera direstrukturisasi. Menurut SOS, selama hampir 20 bulan kinerja PSSI tidak membuahkan hasil. PSSI sejauh ini hanya membuat hasil yang sangat mengecewakan. Bahkan, tidak lagi mempunyai karakter organisasi yang dapat mengharumkan nama bangsa dengan berprestasi di luar negeri.
"Kinerja PSSI dari pengelolaan keuangan, manajemen timnas, pengelolaan media, pembinaan usia muda, hingga masalah kompetisi sangat mengecewakan. Bahkan, terkesan menghianati amanat reformasi sepak bola Indonesia tahun 2010 lalu. Kinerja PSSI buruk karena sumber daya dan pengurusnya tidak mampu bekerja."
"Banyak benalu organisasi yang menghambat pencapaian janji reformasi. Masih banyak pengurus yang bermental mafia, bermain dua kaki antara PSSI dan KPSI, "main mata" dengan penjudi dan masih sangat rentan disuap. Tradisi buruk sejarah hitam sepak bola Indonesia belum hilang, karena penyamun dan penjahat sepak bola juga sebagian masih bercokol di PSSI. Oleh karena itu, menjadi momentum yang tepat saat ini untuk restrukturisasi PSSI. Merampingkan organisasi dan memecat benalu-benalu yang melemahkan PSSI."
SOS, dalam poin keempat juga berharap kompetisi ke depannya bisa berjalan secara profesional. Artinya, tidak mengandalkan dana dari APBD.
"Menjelang unifikasi kompetisi antara IPL dan ISL masih sarat akan adanya indikasi APBD kembali dipakai untuk mendanai klub sepak bola menjalani kompetisi. ISL disinyalir masih akan mengandalkan APBD sebagai mesin uang klub. Modusnya, melalui APBD-Perubahan tahun 2012 dan APBD tahun 2013. Tentu saja, ini menghianati reformasi sepak bola Indonesia dan harus segera dihapuskan serta diberi sanksi tegas. Jika klub memakai dana APBD harus mendapat sanksi tidak boleh ikut kompetisi resmi."
"Presiden juga harus segera memilih Menpora yang netral dan mampu menyelesaikan konflik sepak bola Indonesia. Sepak bola Indonesia bergerak di bawah naungan undang-undang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Penanggung jawab atas UU tersebut adalah Menpora. Dalam hal tersebut, Menpora mempunyai nilai strategis untuk menyelesaikan konflik sepak bola. Pertimbangan inilah yang harus menjadi dasar Presiden memilih Menpora."