Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Pada musim Pemilu 2009 panggung kampanye ditingkahi para selebritas yang berpolitik menjadi calon anggota legislatif (caleg). Menjelang pemilu 2014 panggung bakal lebih ramai dengan kehadiran para mantan atlet.
Dalam pentas politik Indonesia yang masih menitikberatkan pada political look dibandingkan political performance, kondisi itu jelas dimanfaatkan oleh partai politik peserta pemilu. Mereka menilai kepopuleran atlet sebagai tokoh yang dikenal masyarakat, apalagi memiliki prestasi tinggi, akan menjadi poin penting untuk meyakinkan konstituen sekaligus menggaet suara.
Karena itu, belakangan ini mantan atlet mulai didekati, bahkan sudah menjadi anggota parpol. Seperti yang terjadi pada 18 Maret lalu, saat enam mantan atlet nasional bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN).
Mantan petenis nasional Yayuk Basuki, yang didaulat sebagai juru bicara para mantan atlet yang tergabung dalam Indonesia Olympians Association (IOA), menyatakan bahwa keterlibatan para mantan atlet dalam sistem politik merupakan sebuah keputusan pribadi.
"Alasan utama adalah karena keprihatinan atas nasib olah raga dan para atlet di Indonesia yang makin terpuruk," ujarnya. Selain Yayuk, juga bergabung La Paena Masara (tinju), Nurfitriyana (panahan), Kresna Bayu (judo), Selvyana Sofyan Hosen (menembak), dan Emma Tahapary (atletik).
Bukti totalitas kepada PAN juga ditunjukkan para atlet dengan menyerahkan cenderamata berupa peralatan olah raga yang pernah dipakai saat berlaga di pentas Olimpiade kepada Sekjen DPP PAN, Taufik Kurniawan. Sebagai penerimaan menjadi politisi PAN, pengurus parpol tersebut secara simbolik memakaikan jaket biru kepada setiap mantan atlet nasional.
Ungkapan senada menjadi politisi juga dilontarkan Pino Bahari. Mantan petinju yang meraih medali emas Asian Games Bejing 1990 itu sudah masuk daftar calon sementara (DCS) caleg dari Partai Gerindra di Bali. Meski bayang-bayang kursi legislatif masih jauh, Pino cukup yakin akan pilihannya terjun ke partai politik.
"Nama saya sudah didaftarkan sebagai caleg sementara. Sekarang tinggal menunggu proses berikut. Secara prinsip saya sudah siap maju supaya ada perwakilan atlet dan menyuarakan lebih banyak kepentingan olah raga di DPR," ujar Pino.
Pilih Belajar Dulu
Memang bukan hal yang baru jika mantan atlet terjun ke politik. Dalam DPR periode sekarang saja ada mantan pecatur Utut Adianto dan mantan karateka Tommy Firman, yang duduk menjadi wakil rakyat. Namun, menjelang pemilu 2014 kegencaran parpol mencari mantan atlet sebagai caleg begitu kentara.
Seperti yang diceritakan peraih medali emas ganda putra Olimpiade Atlanta 1996, Ricky Soebagdja. Pasangan Rexy Mainaky itu mengaku didekati kalangan atas PAN, PDI Perjuangan, dan juga Nasdem untuk bergabung. Bahkan dengan janji-janji yang menarik, antara lain nomor urut di peringkat atas sehingga jaminan lolos ke Senayan semakin besar. Tetapi, hingga hari ini dan menjelang penutupan DCS pada 9 April nanti, Ricky belum menentukan pilihan.
Hal serupa juga dialami Taufik Hidayat. Meski enggan menyebutkan parpol yang meminang, juara Olimpiade Athena 2004 itu mengaku menolak ajakan untuk menjadi politikus.
"Saya tidak perlu menyebutkan nama parpol. Yang pasti lebih dari tiga. Saya menolak. Saya berpikir jika ingin menjadi caleg harus sekolah dan belajar dulu sehingga nanti sebagai anggota legislatif sudah punya pengetahuan dan kemampuan. Tidak sekadar menjual tampang dan nama untuk menjadi caleg," ujar Taufik.
Apa yang disampaikan Taufik memang benar. Meski punya nama dan reputasi dalam bentuk prestasi olah raga, urusan politik benar-benar berbeda. Para atlet harus memiliki kemampuan dan pengetahuan sehingga tidak hanya dimanfaatkan oleh para politisi lihai yang punya jam terbang tinggi. Salah-salah jika tidak dibekali ilmu dan kematangan dalam memasuki rimba politik di Senayan, bukan tak mungkin para mantan atlet yang masih hijau di dunia politik akan kejeblos karena permainan politik.
Menurut Direktur Riset Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, politik Indonesia masih mengagung-agungkan aspek kemasan dibandingkan dengan substansi yang ada di dalamnya.
"Dalam karakter budaya seperti itu hasil akhir menjadi lebih penting dibandingkan dengan proses yang menopangnya sehingga tak heran jika para selebritis atau orang terkenal, seperti atlet sering dijaring demi orientasi citra ketimbang visi-misi yang ingin diperjuangkan. Oleh karena itu, jangan sekadar dimanfaatkan saja," ujar Yunarto saat dihubungi melalui telepon.