Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Guru ini merupakan pengambil inisiatif dalam penyelenggaraan perlombaan-perlombaan atletik antarpelajar di kota Jateng itu. Ketika Ratmi duduk di kelas satu S.L.P. ia menjadi juara pancalomba: 100 m, lompat tinggi, lompat jauh, lempar cakram, dan lempar lembing.
Pada tahun 1961 Ratmi melanjutkan pelajarannya di S.G.P.D. di Semarang. Arah dalam hidupnya makin jelas, dan karier atletiknya pun mulai tampak.
Setahun sebelumnya Ratmi mewakili daerahnya dalam perlomibaan invitasi P.A.S.I. di Bandung, perlombaan, yang dimaksudkan sebagai persiapan Training Centre Asian Games ke-4. Bagi Ratmi inilah perlombaan atletik, yang terbesar. Malahan lebih besar daripada Asian Games.
Ia berlomba dalam kedua nomor sprint: 100 m- dan 200 m. Dalam 100 m ia dikalahkan oleh Ernawati dan Hartinah, dalam 200 m ia menang, waktunja hanja 29,1 detik. Setelah perlombaan ini ia sadari bahwa prestasinya masih belum berarti.
la tidak berpikir lebih jauh dari prestasi nasional, dan di Bandung itu ia bertekad untuk menciptakan rekor-rekor nasional. Ia berhasrat untuk menjadi seorang top atlet Indonesia, agar namanya kelak di kemudian hari, kalau lama sudah ia berhenti berlomba, tetap tercantum dalam sejarah olahraga nasional.
Soeratmi masuik T.C. Asian Games. Karenanya perlombaan P.O.N. 5 di Bandung harus dilewatkan. Tapi dalam kejuaraan P.A.S.I, 1962 di Jakarta, di stadion Ikada, Ratmi kembali menjuarai lari 200 m, dan dalam 100 m ia menjadi juara kedua.
Bersama Ernawati, Willy Tomasoa, dan Wiwiek Mahwijar ia terpilih dalam regu estafet 4 x 100 m untuk Asian Games.
Dalam testing pertama untuk A.D. dalam mana atlet-atlet dari Filipina dan Singapura turut berlomba, Ratmi terpaksa absen, karena tangan kirinya patah pada pergelangan dalam latihan waktu hujan.
Dalam “duel meet” pertandingan dwi-negara, Indonesia-Australia dalam stadion Utama Senayan, yang merupakan “dress rehearsal” untuk Asian Games, Soeratmi sebenarnya menciptakan rekor Indonesia dalam lari 200 m.
Waktunya, 26,9, tidak sebaik waktu-waktu Fabanjo (26,8) atau Karnah (25,5), tapi setelah Fabanjo ternyata orang laki-laki dan Karnah bukan wanita tulen, maka seharusnya prestasi Ratmi itu dinyatakan sebagai rekor nasional.