Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Soeratmi, yang berbadan kecil, namun bisa menyumbangkan medali dalam beberapa perlombaan bergengsi, bahkan menorehkan rekor nasional.
Intisari-Online.com – Di dalam stadion Utama, yang begitu besar, ia justru memberi kesan besar juga. Lebih-lebih sewaktu ia berhasil menumbangkan rekor nasional lari 800 m, membuat prestasi terbaik dalam lari 400 m atau ia bersama rekan-rekannya menciptakan rekor lagi dalam lari beranting 4 x 100 m.
Ia tampak besar dalam prestasi ketika berlomba dengan wanita-wanita Australia dalam stadion Utama di Senayan itu. Memang ia seorang atlet wanita Indonesia terkemuka, besar dalam prestasi dan cita-cita.
Tapi, Soeratmi mempunyai tinggi badan hanya 1,50 m dan beratnya tidak lebih dari 43 kg. Wajahnya yang halus simpatik, senyumnya yang manis, lebih pula kesederhanaan dalam kelakuannya tidak mengingatkan orang, yang bertemu muka dengannya, bahwa ia berhadapan dengan salah seorang atlet terbaik sepanjang sejarah Indonesia.
Sekecil-kecil tubuhnya Ratmi ialah seorang pancalombais, ia berlari gawang, ia menumbangkan rekor-rekor Indonesia dalam tidak kurang dari lima nomor atletik, yaitu 200 m, 400 m, 800 m, lompat jauh, dan 4 x 100 m.
Memang sejak anak-anak Soeratmi sudah gemar berlari. Ia gemar dalam segala macam permainan, dalam mana ia harus banyak berlari. Ia pun tidak mau ketinggalan dengan teman-teman laki-lakinya kalau pada musimnya ada Iajang-layang yang putus.
Ratmi dibesarkan di Toriredjo, dekat Blora, dimana ia dilahirkan pada tanggal 8 Nopember 1944 dari keluarga guru. Saudara-saudaranya semuanya 7 orang, diantaranya kakak laki-laki paling tua, yang gemar atletik.
Kakaknya ini memperkenalkan olahraga atletik kepada adik prempuannya, yang gemar berlari.
Di S.M.P. di Blora baru secara benar-benar Ratmi beratletik. Bahwa guru penjasnya Pak Soepardjo, secara kebetulan juga gemar atletik mungkin hal itu merupakan petunjuk arah dalam hidupnya.
Guru ini merupakan pengambil inisiatif dalam penyelenggaraan perlombaan-perlombaan atletik antarpelajar di kota Jateng itu. Ketika Ratmi duduk di kelas satu S.L.P. ia menjadi juara pancalomba: 100 m, lompat tinggi, lompat jauh, lempar cakram, dan lempar lembing.
Pada tahun 1961 Ratmi melanjutkan pelajarannya di S.G.P.D. di Semarang. Arah dalam hidupnya makin jelas, dan karier atletiknya pun mulai tampak.
Setahun sebelumnya Ratmi mewakili daerahnya dalam perlomibaan invitasi P.A.S.I. di Bandung, perlombaan, yang dimaksudkan sebagai persiapan Training Centre Asian Games ke-4. Bagi Ratmi inilah perlombaan atletik, yang terbesar. Malahan lebih besar daripada Asian Games.
Ia berlomba dalam kedua nomor sprint: 100 m- dan 200 m. Dalam 100 m ia dikalahkan oleh Ernawati dan Hartinah, dalam 200 m ia menang, waktunja hanja 29,1 detik. Setelah perlombaan ini ia sadari bahwa prestasinya masih belum berarti.
la tidak berpikir lebih jauh dari prestasi nasional, dan di Bandung itu ia bertekad untuk menciptakan rekor-rekor nasional. Ia berhasrat untuk menjadi seorang top atlet Indonesia, agar namanya kelak di kemudian hari, kalau lama sudah ia berhenti berlomba, tetap tercantum dalam sejarah olahraga nasional.
Soeratmi masuik T.C. Asian Games. Karenanya perlombaan P.O.N. 5 di Bandung harus dilewatkan. Tapi dalam kejuaraan P.A.S.I, 1962 di Jakarta, di stadion Ikada, Ratmi kembali menjuarai lari 200 m, dan dalam 100 m ia menjadi juara kedua.
Bersama Ernawati, Willy Tomasoa, dan Wiwiek Mahwijar ia terpilih dalam regu estafet 4 x 100 m untuk Asian Games.
Dalam testing pertama untuk A.D. dalam mana atlet-atlet dari Filipina dan Singapura turut berlomba, Ratmi terpaksa absen, karena tangan kirinya patah pada pergelangan dalam latihan waktu hujan.
Dalam “duel meet” pertandingan dwi-negara, Indonesia-Australia dalam stadion Utama Senayan, yang merupakan “dress rehearsal” untuk Asian Games, Soeratmi sebenarnya menciptakan rekor Indonesia dalam lari 200 m.
Waktunya, 26,9, tidak sebaik waktu-waktu Fabanjo (26,8) atau Karnah (25,5), tapi setelah Fabanjo ternyata orang laki-laki dan Karnah bukan wanita tulen, maka seharusnya prestasi Ratmi itu dinyatakan sebagai rekor nasional.
Dalam T.C. Ratmi dilatih untuk lari-lari sprint, tapi dalam duel meet itu ia turut berlomba juga dalam 800 m bersama pelari spesialis kita, Soeatini, melawan Dixie Willis, pelari internasional.
Di luar dugaan Ratmi mengalahkan Soeatini, waktunya merupakan rekor Indonesia baru 2:23,3 (1961 di Malaka).
Dalam pertandingan itu, dua pekan sebelum Asian Games, regu estafet Indonesia pun menciptakan rekor nasional baru: 50,7.
Dalam Asian Games 4 Soeratmi berlomba dalam tidak kurang dari empat nomor: 100 m, 200 m, 800 m, dan 4 x 100 m. Dalam 100 m ia tersisihkan di babak semi final (12,9), dalam 200 m ia masuk final (26,7).
Soeratmi dan Soeatini tidak pegang peranan dalam 800 A.G. itu, tapi mereka berdua berduel sendiri dan hasilnya rekor nasional yang baik. Soeatini mengalahkan Soeratmi dengan waktu 2:20,8. Waktu Ratmi ialah 2:21,4.
Regu estafet Indonesia merebut medali perunggu, di belakang Filipina dan Jepang, tapi waktunya merupakan rekor nasional baru: 50,5.
Sebetulnya Ratmi dijadikan pelari jarak menengah secara kebetulan. Ketika dalam T.C. kakinya agak sakit dan ia tidak dapat mengikuti latihan khusus untuk sprint, ia turut latihan 400 m dan 800 m.
Dan hasilnya a.l. rekor nasional untuk 400 m dalam dress rehearsal untuk Ganefo pada tanggal 16 Oktober 1963. Ia menumbangkan rekornya Soeatini dari 61,2 ke 59,9. Dalam Ganefo Ratmi memperbaiki lagi rekor nasionalnya, ia menangkan medali perak dalam waktu 58,8 sampai kini belum tersentuh.
Dalam tahun 1964 Ratmi turut regu P.A.S.I, yang bertanding di luar negeri. Dalam kesempatan itu ia mencatatkan waktu 26,2 untuk 200 m, seharusnya rekor nasional.
Di Bangkok, dalam Asian Games 5, Ratmi pun hadir. Prestasi rata-rata di Indonesia dalam atletik mulai merosot, dan prestasi Ratmi pun turut terpengaruh.
Di Bangkok ia mencapai babak semi final dalam 200 m, waktunya haya 27,7. Tapi regu estafet Indonesia menciptakan rekor nasional baru, dalam serinya mereka (Kartini Isworo, Tjong Oy Lien, Soeratni, Carolina Riupassa) mencatatkan 48,8.
Di babak final prestasinya menurun, karena Kartini mengalami luka-luka pada lutut kanannya (49,9).
Soeratmi tidak berlatih secara berlebih-lebihan, dalam satu kali latihan ia hanya beberapa kali lari 100 m. Tapi, kenapakah ia selalu dapat berprestasi baik dalam perlombaan?
Ia lalu rapih dalam mempersiapkan diri untuk suatu perlombaan, yang terkecil pun. Kesalahan-kesalahan, kelalaian, soal-soal yang kecil-kecil pun ia perhatikan betul-betul, soal sepatu lari, soal nomor perlombaan, dsb.
Maka tidak mengherankan, kalau setelah lama juga beristirahat, yang berarti tanpa latihan-latihan atletik yang serius, ia masih mampu menciptakan rekor Indonesia, kali ini dalam lompat jauh.
Dalam P.O.N. 7 di Jakarta tahun 1965 ia menjadi juara dengan lompatan 5,51 m. Sebelum P.O.N ini ia berlari gawang 80 m 14,5 detik.
Untuk P.O.N. 8 di Makassar, Ratmi berlatih hanya sekali sepekan, di samping itu sekali-sekali juga berbola basket dan lain-lain macam olahraga, sebab ia masih kuliah di S.T.O. Semarang.
Di Makassar Ratmi menangkan satu medali emas dan satu perunggu, emas ia peroleh dalam lompat jauh (4,60 m) dan perunggu dalam lari gawang (15,6).
Perlombaannya terakhir yang terbesar ialah P.O.N. 7 di Surabaya. Kondisinya tidak seperti sediakala tapi Ratmi mampu merebut dua medali emas, untuk lompat jauh (5,09) dan untuk 400 m (61,3)
Soeratmi mengajar pendidikan jasmani di S.M.O.A., tapi juga di sebuah S.D. Ini adalah keinginannya sendiri. Jarang seorang guru olahraga mau mengajar di S.D., tapi Ratmi yakin akan pentingnya olahraga di S.D. dan pentingnya mencari bibit di antara anak-anak muda untuk atletik Indonesia.
Bakat harus dicari di antara anak-anak, dan kegemaran harus dipupuk kepada anak-anak.
Bulan Februari tahun ini Soeratmi akan melangsungkan pernikahan dengan seorang guru olahraga juga. Soal rumah tangga baginya bukan soal, sebab ia pun gemar masak.
Tapi ia ingin tetap mengajar, kendati pun suaminya kelak bercita-cita masuk kepolisian, Ratmi ingin tetap mengejar cita-citanya dalam olahraga dan atletik.
Daftar Rekor Nasional yang masih dipegang oleh Soeratmi:
(Ditulis oleh Tan Liang Tie. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1970)