Terverifikasi Administratif dan Faktual oleh Dewan Pers
Ito menilai bahwa hasil dari pelatih lokal tak akan memuaskan untuk membina para pebasket muda Afrika.
Syarat kedua adalah tidak melibatkan para pebasket muda Afrika di Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua yang digelar pada 2020.
"Kalau mereka dilibatkan di PON, itu tentu akan merusak sistem pembinaan usia dini di Indonesia," tuturnya.
Sementara itu, sumber BOLA dan BolaSport.com mengatakan bahwa para pebasket Afrika itu bisa saja diturunkan di PON.
Syaratnya, tiap daerah yang hendak merekrut mesti siap membiayai uang saku mereka yang berkisar Rp 5-7 juta per bulan (belum termasuk uang makan dan biaya akomodasi lainnya).
"Para pemain Afrika yang dihendaki daerah, hanya akan datang beberapa hari sebelum tanding di PON. Jadi, mereka tak bisa rutin melakoni latihan bersama daerahnya," kata sumber BOLA dan BolaSport.com.
(Baca juga: Pro-Kontra Mega Proyek Basket Indonesia - Mantu Rhoma Irama di Balik Proyek Perbasi)
Ketua Umum Perbasi Danny Kosasih tidak menampik kesempatan orang-orang Afrika itu beraksi di PON.
"Mereka punya hak untuk bermain di PON, karena mereka WNI (Warga Negara Indonesia) juga," katanya.
Sebelumnya, Pada awal April mendatang, Perbasi akan terbang ke Mali, Afrika Barat, untuk memburu maksimal sepuluh orang pebasket.
Mereka mengambil sepuluh pebasket Afrika usia Under 15 (U15) untuk memperkuat timnas Indonesia yang harus lolos kualifikasi Piala Dunia Basket 2023 pada 2021.
Kebutuhan Perbasi untuk memiliki tim yang kuat muncul setelah Indonesia resmi ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia 2023 bersama Jepang dan Filipina.